BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dengan sunnah Nabi merupakan dua hal pokok sumber dan tiang juga jantung syariat Islam dalam ajaran Islam. Sebuah bangunan tanpa tiang secara logika pasti akan runtuh, begitu juga dengan Agama tanpa dibarengi dengan dasar yang kokoh ataupun tiang penyangga maka akan runtuh layaknya bangunan. Seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan dalam Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena itu wajar apabila apresiasi serta perhatian lebih cenderung kepada keduanya dari pada bidang lain.
Al-Qur’an juga merupakan petunjuk bagi umat Islam khususnya, pada umumnya bagi umat manusia keseluruhan. Al-Qur’an juga menjadi manhajul hayah (kurikulum kehidupan) bagi manusia dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan. Satu hal yang telah disepakati seluruh umat Muslim ialah kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam. Berikut akan sedikit dipaparkan bagaimana alqur’an sebagai sumber hukum bagi umat Islam.
Rumusan Masalah
1. Apa Definisi al-Qur’an dan Otentisitasnya?
2. Apa Fungsi dan Tujuan Turunnya al-Qur’an?
3. Mukjizat Al-Qur’an?
4. Ibarat al-Qur’an dalam Menetapkan Serta Menjelaskannya terhadap hukum?
5. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
Kata sumber dalam ushul fiqh ialah terjemahan dari lafadz مصدر yang jamaknya مصادر . Lafadz itu hanya terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti sebutan dari dalil atau lengkapnya الأدلةالشرعية. Sedangkan dalam literatur klasik, biasanya digunakan kata dalil, dan tidak pernah menggunakan kata مصادر الأحكم الشرعية. Mereka yang menggunakan kata mashadir sebagai kata adillah yang beranggapan bahwa kata itu sama artinya. Dilihat secara bahasa kedua kata tersebut tidaklah sinonim. Kata مصادر diartikan suatu wadah yang dari wadah tu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil berarti suatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk al-Qur’an dan as-Sunnah sedangkan kata dalil dapat digunakan sebagai al-Qur’an dan as-sunnah juga untuk ijma dan qiyas.
Istilah masadir al-ahkam, masadir al-syariah, masadir al-tasyri atau yang diartikan sumber hukum mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Dalam konteks ini Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah merupakan sumber hukum
Sedangkan dalil secara etimologis adalah “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Secara terminologis bararti segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan meneapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat yang meliputi Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab ushul. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istimbat hukum selain Al-Qur’an dan as-Sunnah.
A. Pengertian al-Qur’an
1. Definisi al-Qur’an
Secara etimologi, sebagian besar ulama mengatakan al-Qur’an merupakan bentuk مصدر dari kata قرأ yang bisa dimasukan kedalam wazan فعلان artinya bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru.
انّ علينا جمْعه وقرْأنه. فاذا قرأنه فاتّبع قرْأنه.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilan bacaan itu.” (QS. al-Qiyamah: 17-18)
Sedangkan secara terminologi menurut sebagian besar ulama Ushul Fiqh adalah:
كلام الله تعالى المنزّل على محمّد صلى الله عليه وسلّم باللفظ العربي المنفول الينا بالتوتر المكتوب بالمصاحف المتعبّد بتلاوته المبدوء بالفاتحة والمحتوم بسورة النّاس.
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Sementara al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustafa
القرأن وهو قول الله تعالى
Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT.
Dari definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. dengan menggunakan bahasa Arab, penukilannya disampaikan secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga sampai sekarang ini. Penukilan al-Qur’an oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelahnya dengan sanad mutawatir.
2. Otentisitas al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang terakhir diturunkan bagi seluruh umat, terbuka untuk dipelajari oleh siapapun, baik dari golongan manusia maupun golongan jin, baik orang yang beriman (percaya) kepada al-Qur’an maupun yang tidak. Namun, bagi yang tidak percaya sungguh tidak berhak bagi mereka. al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. dengan menggunakan bahasa Arab, penukilannya disampaikan secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga sampai sekarang ini. Penukilan al-Qur’an oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelahnya dengan sanad mutawatir.
Begitu juga pada Zaman khalifah Abu Bakar as-Siddiq pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokan tulisan yang ada dengan para penghafal. Kemudian hasil pembukuan itu disimpan secara aman, lalu berpindah tangan kepada Umar bin Khattab dan setelah beliau ketangan Hafsah binti Umar (istri Nabi), terakhir diadakan pentashihan pada masa khalifah Utsman bin Affan sehingga menghasilkan naskah otentik itu disebut mushaf Imam yang kemudian menjadi standar rujukan untuk perbanyakan dan pentashihan berikutnya .
إنا نحن نزّلنا الذّكر وإنه لحافظون.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (QS. al-Hijr: 9)
Dengan demikian al-Qur’an dari segi lafadz juga wurudnya qathi’ (meyakinkan) serta tidak ada keraguan didalamnya.
Didalam al-Qur’an terdapat perbedaan dalam segi pembacaan (qira’at). Dari hasil penelitian para ahli terdapat 7 qira’at yang berkembang yang disepakati mutawatirnya yang disebut قرأة السبعة. Selain itu ada tiga qira’at lagi yaitu qira’at Ibnu Ja’far, Ya’kub dan Khalafa, tetapi tidak disepakati kemutawatirannya. Qira’at yang tidak mutawatir disebut القرأة الشاذة atau ganjil. Keganjilan qira’at ini diantaranya disebabkan adanya tambahan kata sebagai penjelasan terhadap kata yang terletak disampingnya.
Dalam surat al-Maidah ayat 89 yaitu:
فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايّامٍ.
Sedangkan dalam qira’at syadzdzah yang berasal dari Ibnu Mas’ud berbunyi:
فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايّامٍ متتابعةٍ.
Bentuk lain dari qira’at ini adalah pengubahan kata, seperti pada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 38:
السّارق والسّارقة فاقطعوا أيديهما.
Dalam qira’at Ibnu Mas’ud
السّارق والسّارقة فاقطعوا أيمناهما.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat apakah qira’at syadzdzah dapat dijadikan sumber atau dalil dalam menetapkan hukum?
a. Menurut Imam Syafi’i tidak boleh berdalil dengan qira’at ini, karena kewajiban puasa kaffarah sumpah yang tiga hari itu tidak mesti berturut-turut. Alasannya ialah Nabi Muhammad dituntut untuk menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an bagi sekelompok kaum yang tentu ucapan mereka merupakan kekuatan hukum. Sekelompok ini tidak mungkin bersamaan dalam menukilkan apa yang mereka dengar dari Nabi. Periwayat yang membawa pesan dari Nabi , bila ia hanya seorang dan mengatakan bahwa pesan yang dibawa Nabi adalah al-Qur’an, mungkin ia salah. Dan tidak disebutkannya maka ia berada dalam keraguan antara apakah pesan itu khabar dari Nabi atau pendapatnya sendiri. Oleh karena itu tidak dapat dipegang sebagai hujjah yang kuat.
b. Imam Abu Hanifah menerima qira’at itu sebagai sumber penetapan hukum. Alasannya meskipun periwayatannya tidak meyakinkan sebagai ayat al-Qur’an, namun setidaknya ia sama dengan hadits ahad, sedangkan hadits ahad dapat menjadi sumber dalam pengistinbathan hukum.
Perbedaan ini juga terjadi dalam boleh tidaknya dibaca dalam shalat. perbedaan ini muncul karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah ayat al-Qur’an, “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.”
Juga terdapat perbedaan pendapat tentang basmalah dalam al-Qur’an. Kedudukan basmalah sebagai bagian dari al-Qur’an diperselisihkan, maka terdapat pula perbedaan dalam membacanya dalam shalat.
B. Fungsi dan Tujuan Turunya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAW. untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka. Fungsi dan tujuan turunnya al-Qur’an kepada umat manusia, terlihat dalam bentuk beberapa ungkapan yang diantaranya adalah:
1. Sebagai hudan (هدى) atau petunjuk bagi kehidupan umat.
2. Sebagai Rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dal bentuk kasih sayang.
3. Sebagai Furqan yaitu sebagai pembeda antara yang baik dan buruk.
4. Sebagai موعظة atau pengajaran yang mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya.
5. Sebagai بشرى atau berita gembira bagi yang berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia.
6. Sebagai تبيان berarti penjelasan.
7. Sebagai مصدق atau pembenar.
8. Sebagai نور cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia.
9. Sebagai تفصيل yaitu yang memberikan penjelasan secara rinci.
10. Sebagai شفاء الصدور obat bagi rohani yang sakit.
11. Sebagai حكيم sumber kebijaksanaan.
Dengan menganalisa semua fungsi al-Qur’an secara harfiyah terdapat dalam al-Qur’an jelaslah al-Qur’an diturunkan oleh Allah dalam bentuk multi fungsi.
C. Mukjizat Al-Qur’an
Mukjizat merupakan satu identitas para Rasul dari kerasulannya. Identitas ini berbeda antara Rasul yang satu dengan Rasul yang lainnya. Mukjizat biasanya diberikan Allah dalam bentuk sesuatu yang umum berlaku pada masanya dan Rasul memunculkan keluar biasaannya.
Mukjizat al-Qur’an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam bahasa dan maksud yang terkandung didalamnya. Dalam al-Qur’an terdapat segi-segi kemukjizatannya.
1. Dari segi keindahan bahasa (gaya bahasa).
2. Susunan kalimat.
3. Hukum ilahi yang sempurna .
4. Dari segi pemberitaan masa lalu yang kemudia terbukti kebenarannya.
5. Dari segi pemberitaan al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi dan ternyata memang kemudian terjadi.
6. Ketelitian redaksinya.
7. Dari segi kandungan akan hakikat kejadian alam dan seisinya serta hubungan antara satu dan lainnya.
8. Dari segi kandungan mengenai pedoman hidup.
9. Isyarat-isyarat ilmiah.
D. Ibarat Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum Serta Penjelasannya Terhadap Hukum
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, ataupun tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Perintah dalam al-Qur’an yang menunjukan keharusan berbuat, disamping mengunakan kalimat suruhan. Kata suruhan atau ibarat yang diibaratkan itu kadangkala diiringi Allah dengan suatu penegasan seandainya tidak dipatuhi, menunjukan bahwa Allah menghendaki perbuatan itu mutlak harus dikerjakan.
Setiap perbuatan yang tidak disertai pujian, celaan, ancaman ataupun pujian, dosa atau pahala, menunjukan bahwa perbuatan itu hukumnya mubah. Untuk hukum mubah ini sering digunakan kata halal, seperti bolehnya memakan hewan ternak. “dihalalkan bagimu hewan ternak.” Atau dengan ibarat tiada halangan atau keberatan seperti bolehnya mengqhasar shalat. “bila kamu dalam perjalanan, tidak ada halangannya bila kamu mengqhasar shalat....”
Penjelasan al-Qur’an terhadap hukum dari segi kejelasan artinya ada dua macam keduanya dijelaskan dalam al-Qur’an secara muhkam dan mutsyabih, “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang ayat-ayat mutasyabihat.”
Ayat muhkam ialah ayat yang jelas maknanya tersingkap secara terang, sedangkan mutasyabih sebaliknya. Dari segi penjelasannya terhadap hukum ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i maksudnya al-Qur’an menjelaskan secara terperinci.
2. Secara Kulli yaitu penjelasan al-Qur’an secara garis besar (global) sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya.
3. Secara Isyarah. al-Qur’an memberikan penjelasan secara lahir didalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat.
E. Al-Qur’an Sebagai Sumber Fiqh
Keseluruhan madzhab dalam Islam sepakat dengan al-Qur’an sebagai sumber hukum paling utama, dengan kata lain al-Qur’an menempati posisi yang pertamadari tertib sumber hukum dalam berhujjah.
Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumper utama dan paling pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum pada suatu kejadian, tindakan pertama ialah mencari jawaban penyelesaiannya dalam al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an maka ia tidak boleh memakai sumber lain diluar al-Qur’an.
Kekuatan kehujjahan al-Qur’an sebagai sumber fiqh terkandung dalam ayat al-Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-Qur’an.
Jelaslah dalam uraian diatas bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya sehingga sangat logis apabila menjadi sumber hukum utama umat Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. dengan menggunakan bahasa Arab, penukilannya disampaikan secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga sampai sekarang ini. Penukilan al-Qur’an oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelahnya dengan sanad mutawatir. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW. dengan menggunakan bahasa Arab, penukilannya disampaikan secara mutawatir dari generasi ke generasi hingga sampai sekarang ini. Penukilan al-Qur’an oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelahnya dengan sanad mutawatir.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAW. untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka. Yang memiliki fungsi dan tujuan yaitu, sebagai petunjuk, rahmat, pembeda, mau’izhah, busyra, tibyan, nur, mushadiq, tafsil, as-Syifa dan hakim. Mukjizat al-Qur’an tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam bahasa dan maksud yang terkandung didalamnya. Dalam al-Qur’an terdapat segi-segi kemukjizatannya.
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, ataupun tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan. Perintah dalam al-Qur’an yang menunjukan keharusan berbuat, disamping mengunakan kalimat suruhan.
Al-Qur’an adalah wahyu Allah, menjadi utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya sehingga sangat logis apabila menjadi sumber hukum utama umat Islam.
Daftar Pustaka
Sayrifuddin, H. Amir, Prof., Dr. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syafe’i, Rahmat, Prof., DR. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon, Drs., M.Ag. 2004. Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia.
http://one.indoskripsi.com/node/2561
http://www.amazinglight.info
http://diaz2000.multiply.com/jurnal/item/3
0 komentar:
Posting Komentar