Berlakunya KUHPerdata Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Proses
bangsa yang bernegara memberikan gambaran bagaimana terbentuknya bangsa. Tempat
sekelompok manusia tinggal di dalamnya dan merasa sebagai bagian dari bangsa.
Dalam bernegara pastilah berinteraksi antar warga sekitar, untuk terciptanya
ketertiban dan kenyamanan maka ada lah suatu aturan yang mengatur tata cara
kehidupan yakni suatu hukum.
Bahwasanya
di Negara manapun juga, tertib hukum itu selamanya diselenggarakan dan
dipelihara bersandar pada asas pendirian, bahwa setiap orangpun dianggaplah ia
mengetahui akan undang-undang.[1]
Jika
sejenak kita meninjau keadaan di Negara kita, seraya memperhatikan, betapa
sebagian besar perundang-undangan kita kini pun masihlah tersusun dalam bahasa
belanda, ialah suatu bahasa yang, baik dulu maupun sekarang, asing bagi kita,
dan memperhatikan pula, betapa justru bahasa itulah kini, secara tepat atau
tidak tepat.[2]
Hukum
materiil dapat berupa hukum yang tertulis terjelma dalam undang-undang atau
hukum yang tidak tertulis semuanya merupakan pedoman bagi setiap warga
tentang tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam
masyarakat.[3]
Dalam
kesempatan kali ini kami membatasi pokok pembahasan kami pada berlakunya
KUHperdata di Indonesia yang bermula pada hukum pada hukum hindia-belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Perdata di Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak
dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum
dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata
disebut pula hukum
privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu
(hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau
tata usaha negara),
kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk
atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.[4]
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada
hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk
Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan
di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai
1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.[5]
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2
aturan peralihan UUD 1945, KUHPer. Hindia Belanda tetap dinyatakan
berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang –
Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.[6]
Pasal
2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945:
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia
adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum
perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang
pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya
berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat
dengan BW Sebagaian materi BW sudah dicabut berlakunya & sudah
diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik,
Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.[7]
B. Untuk Siapa Berlakunya BW dan WvK?
Hukum perdata di Indonesia, ber bhineka yaitu
beraneka warna.[8]
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara:
a.
Untuk
golongan bangsa Indonesia, berlaku ”hukum adat”, yaitu hukum yang sejak dahulu
telah berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis,
tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam
kehidupan masyarakat.
b. Untuk
golongan warga Negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropa
berlaku kitab Undang-undang hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) dan kitab
undang-undang hukum dagang (Wetboek van koophandel), dengan pengertian,
bahwa bagi golongan tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit
penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang
mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi
mereka, sedang untuk mereka adapula “Burgerlijke Stand” tersendiri. Selanjutnya
ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini
tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.[9]
Akhirnya untuk golongan warga Negara
bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa (yaitu : Arab, India,
dan lainnya) berlaku sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya
hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (Vermogensrecht),
jadi tidak yang mengenai hukum keperibadian dan kekeluargaan (Personen
en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian
hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari asalnya.[10]
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli
sendiri pun ada ber-bhinneka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan hukum perdata di Indonesia
sekarang ini, perlu lahkita sekedar mengetahui tentang riwayat politik pemerintah
Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda
terhadap hukum di Indonesia dituliskan dlam pasal 131 “indische
Staatsregeling” (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang
dalam pokoknya sebagai berikut :[11]
1.
Hukum
perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana berserta hukum acara perdata dan
pidana) harus diletakan dalam kitab-kitab undang-undang, yang dikodifisir.
2.
Untuk
golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di
negeri belanda (asas konkordansi).
3.
Untuk
golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing (tionghoa, arab dsb.), jika
ternyata “kebutuhan kemasayarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-preturan unuk bangsa eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik
seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat
suatu peraturan baru bersama, selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang
berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh
kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4.
Orang
Indonesia asli dan orang timur asing, sepanjang mereka belum ditundukan dibawah
suatu peraturan bersama dengan bangsa eropah, diperbolehkan “menundukan diri”
(“Onderwerpen”) pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropah. Penundukan ini
boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan
tertentu saja (ayat 4).
5.
Sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan
tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat
6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang kita sebutkan di
atas, di zaman hindia-belanda telah ada beberapa peratuaran undang-undang
eropah yang telah “dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia asli, seperti
pasal 1601 – 1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau
perburuhan (staatsblad 1879 No. 256), pasal 1788 – 1791 B.W. perhal
hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari
kitab undang-undang hukum dagang, yaitu sebagian besar dari hukum laut
(staatsblad 1933 No. 49).[12]
Selanjutnya,ada beberapa peraturanyang secara khusus
dibuat untuk bangsa Indonesia,seperti: ordonansi perkawinan Indonesia
keristen (staatsblad 1933 No.74), Ordonansi Tentang maskapai andil
Indonesia atau I.M.A (staatsblad 1939 No.569 berhubung denagn
No.717) dan Ordonansi Tentang perkumpulan bangsa Indonesia(staatsblad
1939 No.570 berhubung dengan No.717).[13]
Akhirnya, adapula peraturan-peraturan yang berlaku
bagi semua golongan warga Negara, misalnya, Undang-undang hak pengarang (Auteureswet
tahhun 1912), peraturan umum tentang koprasi (staatsblad 1933 No.
108), Ordonasi woeker (staatsblad 1938 No. 523), dan Ordonasi
tentang pengangkutan di Udara (staatsblad 1938 No. 98).[14]
Perihal kemungkinan untuk mendudukan diri pada hukum
Eropah setelah diatur lebih lanjut di dalam staatsblad 1917 No. 12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, yaitu:
a.
Penundukan
pada seluruh hukum perdata Eropah;
b.
Penundukan
pada sebagian hukum perdata Eropah, yang dimaksudkan pada hukum kekayaan harta
benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi
golongan timur asing yang bukan Tionghoa;
c.
Penundukan
mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.
Penundukan
secara “diam-diam”, menurut pasal 29 yang berbunyi: “jika seorang bangsa
Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam
hukumnya sendiri, dia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum
Eropah”.
Menurut riwayatnya, pasal 29 tersebut ini dirujukan
kepada seorang bangsa Indonesia yang menandatangani surat aksep atau wesel.
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum
perdata un tuk golongan timur asing, sebagai berikut:
Mula-mula dengan peraturan yang termuat didalam staatsblad
1855 No. 79 hukum perdata Eropah (BW dan wvk) dengan kekecualian hukum
kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang timur
asing.
Kemudian,
dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan tionghoa dan
bukan Tionghoa, karena untuk golongan tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang
sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.[16]
Oleh karena undang-undang dasar kita tidak mengenal
adanya golongan-golongan warga Negara, adanya hukum yang berlainan untuk
berbagai golongan itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk
suatu kodifikasi hukum Nasional. Sementara belum tercapai, BW dan wvk masih
berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa hakim (pengadilan) dapat menganggap
suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan
zaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa BW dan wvk itu tidak lagi
merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “Rechtboek”.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata
Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal
KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah
terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek.
3. Setelah
Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer.
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan
undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini.
4. Sebagaian
materi BW sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI
misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5
Tahun 1960.
5. Hukum
perdata di Indonesia, ber bhineka yaitu beraneka warna.
6. berlakunya
Hukum Perdata itu beraneka ragam (pluralistis), artinya hukum perdata yang
berlaku itu terdiri dari berbagai macam sistem hukum yang dianut oleh penduduk
Indonesia, ada yang tunduk pada Hukum Adat, Hukum Islam, dan hukum Perdata
Barat. sebab-sebab timbulnya pluralisme dalam hukum perdata yaitu adanya faktor
politik Pemerintahan Hindia Belanda dan belum adanya ketentuan hukum perdata
yang berlaku secara nasional. Politik
Pemertintahan Hindia Belanda sebagaimana tercermin dalam Pasal 131 I.S, membagi
penduduk di daerah jajahannya atas tiga golongan, yaitu:
a) Golongan
Eropa dan dipersamakan dengan itu.
b) Golongan
Timur Asing, Timur Asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan
Tionghoa. Termasuk bukan Tionghoa, seperti orang Arab, Pakistan, India, dan
lain-lain.
c) Bumi
Putera, yaitu orang Indonesia asli.
B. Kritik
dan Saran
Terimakasih
sebelumnya kepada seluruh pembaca makalah ini, kami menyadari benar bahwa dalam
penulisan makalah kami yang berjudul ”Berlakunya KUHperdata di Indonesia” ini
pasti lah banyak kekurangan dan kesalahan.
Untuk itu kami sebagai pemakalah mohon kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan berguan bagi para
pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. R. Subekti, SH., R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum perdata edisi revisi, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996,
Dr. Elfrida R Gultom, SH. MH., Hukum Acara
Perdata, Jakarta : Literata, 2010
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok hukum perdata,
Jakarta : PT. Intermasa cetakan 31, 2003.
http://www.scribd.com/doc/13257831/MAKALAH-Sejarah-Terbentuknya-KUHPerdata,
diakses : 21-03-2011
http://www.scribd.com/doc/40726065/Sejarah-Pemberlakuan-BW-Di-Indonesia,
diakses : 21-03-2011
n