Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perdata. Tampilkan semua postingan

Pemberlakuan KUHPer

Berlakunya KUHPerdata Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Proses bangsa yang bernegara memberikan gambaran bagaimana terbentuknya bangsa. Tempat sekelompok manusia tinggal di dalamnya dan merasa sebagai bagian dari bangsa. Dalam bernegara pastilah berinteraksi antar warga sekitar, untuk terciptanya ketertiban dan kenyamanan maka ada lah suatu aturan yang mengatur tata cara kehidupan yakni suatu hukum.
Bahwasanya di Negara manapun juga, tertib hukum itu selamanya diselenggarakan dan dipelihara bersandar pada asas pendirian, bahwa setiap orangpun dianggaplah ia mengetahui akan undang-undang.[1]
Jika sejenak kita meninjau keadaan di Negara kita, seraya memperhatikan, betapa sebagian besar perundang-undangan kita kini pun masihlah tersusun dalam bahasa belanda, ialah suatu bahasa yang, baik dulu maupun sekarang, asing bagi kita, dan memperhatikan pula, betapa justru bahasa itulah kini, secara tepat atau tidak tepat.[2]
Hukum materiil dapat berupa hukum yang tertulis terjelma dalam undang-undang atau hukum yang tidak  tertulis semuanya merupakan pedoman bagi setiap warga tentang tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat.[3]
Dalam kesempatan kali ini kami membatasi pokok pembahasan kami pada berlakunya KUHperdata di Indonesia yang bermula pada hukum pada hukum hindia-belanda.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Perdata di Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum  pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.[4]
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.[5]
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer. Hindia Belanda tetap dinyatakan  berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru  berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda  disebut juga Kitab  Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.[6]

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945:
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum  perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan  BW Sebagaian materi BW sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.[7]
B.     Untuk Siapa Berlakunya BW dan WvK?
Hukum perdata di Indonesia, ber bhineka  yaitu beraneka warna.[8]
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara:
a.       Untuk golongan bangsa Indonesia, berlaku ”hukum adat”, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b.      Untuk golongan warga Negara bukan asli yang berasal Tionghoa  dan Eropa berlaku kitab Undang-undang hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) dan kitab undang-undang hukum dagang (Wetboek van koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedang untuk mereka adapula “Burgerlijke Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.[9]
Akhirnya untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa (yaitu : Arab, India, dan lainnya) berlaku sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (Vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum keperibadian dan kekeluargaan (Personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari asalnya.[10]
Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiri pun ada ber-bhinneka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk mengerti keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini, perlu lahkita sekedar mengetahui tentang riwayat politik pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dlam pasal 131 “indische Staatsregeling” (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang dalam pokoknya sebagai berikut :[11]
1.      Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana berserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakan dalam kitab-kitab undang-undang, yang dikodifisir.
2.      Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (asas konkordansi).
3.      Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing (tionghoa, arab dsb.), jika ternyata “kebutuhan kemasayarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-preturan unuk bangsa eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4.      Orang Indonesia asli dan orang timur asing, sepanjang mereka belum ditundukan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa eropah, diperbolehkan “menundukan diri” (“Onderwerpen”) pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropah. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5.      Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang kita sebutkan di atas, di zaman hindia-belanda telah ada beberapa peratuaran undang-undang eropah yang telah “dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia asli,  seperti pasal 1601 – 1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (staatsblad 1879 No. 256), pasal 1788 – 1791 B.W. perhal hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari kitab undang-undang hukum dagang, yaitu sebagian  besar dari hukum laut (staatsblad 1933 No. 49).[12]
Selanjutnya,ada beberapa peraturanyang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia,seperti: ordonansi perkawinan Indonesia keristen (staatsblad 1933  No.74), Ordonansi Tentang maskapai andil Indonesia atau I.M.A (staatsblad 1939 No.569 berhubung denagn No.717) dan Ordonansi Tentang perkumpulan bangsa Indonesia(staatsblad 1939 No.570 berhubung dengan No.717).[13]
Akhirnya, adapula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara, misalnya, Undang-undang hak pengarang (Auteureswet tahhun 1912), peraturan umum tentang koprasi (staatsblad 1933 No. 108), Ordonasi woeker (staatsblad 1938 No. 523), dan Ordonasi tentang pengangkutan di Udara (staatsblad 1938 No. 98).[14]
C.    Penundukan Hukum Barat[15]
Perihal kemungkinan untuk mendudukan diri pada hukum Eropah setelah diatur lebih lanjut di dalam staatsblad 1917 No. 12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, yaitu:
a.       Penundukan pada seluruh hukum perdata Eropah;
b.      Penundukan pada sebagian hukum perdata Eropah, yang dimaksudkan pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan timur asing yang bukan Tionghoa;
c.       Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.      Penundukan secara “diam-diam”, menurut pasal 29 yang berbunyi: “jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, dia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropah”.
Menurut riwayatnya, pasal 29 tersebut ini dirujukan kepada seorang bangsa Indonesia yang menandatangani surat aksep atau wesel.
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata un tuk golongan timur asing, sebagai berikut:
Mula-mula dengan peraturan yang termuat didalam  staatsblad 1855 No. 79 hukum perdata Eropah (BW dan wvk) dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang timur asing.
Kemudian, dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan tionghoa dan bukan Tionghoa, karena untuk golongan tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.[16]
Oleh karena undang-undang dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga Negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum Nasional. Sementara belum tercapai, BW dan wvk masih berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa hakim (pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan zaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa BW dan wvk itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “Rechtboek”.[17]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hukum perdata disebut pula hukum  privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
2.      Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek.
3.      Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer. Hindia Belanda tetap dinyatakan  berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru  berdasarkan Undang – Undang Dasar ini.
4.      Sebagaian materi BW sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
5.      Hukum perdata di Indonesia, ber bhineka  yaitu beraneka warna.
6.      berlakunya Hukum Perdata itu beraneka ragam (pluralistis), artinya hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam sistem hukum yang dianut oleh penduduk Indonesia, ada yang tunduk pada Hukum Adat, Hukum Islam, dan hukum Perdata Barat. sebab-sebab timbulnya pluralisme dalam hukum perdata yaitu adanya faktor politik Pemerintahan Hindia Belanda dan belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional. Politik Pemertintahan Hindia Belanda sebagaimana tercermin dalam Pasal 131 I.S, membagi penduduk di daerah jajahannya atas tiga golongan, yaitu:
a)      Golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu.
b)      Golongan Timur Asing, Timur Asing dibagi  menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa. Termasuk bukan Tionghoa, seperti orang Arab, Pakistan, India, dan lain-lain.
c)      Bumi Putera, yaitu orang Indonesia asli.

B.     Kritik dan Saran
Terimakasih sebelumnya kepada seluruh pembaca makalah ini, kami menyadari benar bahwa dalam penulisan makalah kami yang berjudul ”Berlakunya KUHperdata di Indonesia” ini pasti lah banyak kekurangan dan kesalahan.
Untuk itu kami sebagai pemakalah mohon kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dan berguan bagi para pembaca.





DAFTAR PUSTAKA
Prof.  R. Subekti, SH., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum perdata edisi revisi, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996,
Dr. Elfrida R Gultom, SH. MH., Hukum Acara Perdata,  Jakarta : Literata, 2010
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok  hukum perdata, Jakarta : PT. Intermasa cetakan 31, 2003.
http://www.scribd.com/doc/13257831/MAKALAH-Sejarah-Terbentuknya-KUHPerdata, diakses : 21-03-2011
http://www.scribd.com/doc/40726065/Sejarah-Pemberlakuan-BW-Di-Indonesia, diakses : 21-03-2011

n

Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata BW dan KHI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami tiga peristiwa yang penting; waktu dilahirkan, waktu kawin, waktu dia meninggal dunia. Pada saat orang dilahirkan tumbuhlah tugas baru dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa setelah dewasa, ia akan melangsungkan perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnnya untuk membangun dan menuanaikan dharma bhaktinya yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia pada akhirnya akan mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini. Timbulah persoalan setelah orang meniggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang ditinggalkan .
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua tentang kewarisan.
Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis akan sedikit memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum perdata (BW) dan kompilasi hukum Islam (KHI).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hukum Waris Menurut Hukum Perdata (BW) dan KHI?
2. Bagaimana Hukum Kewarisan Menurut Hukum Pedata (BW)?
3. Bagaimana Hukum Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) dan KHI
1. Definisi Hukum Waris menurut hukum perdata
Hukum waris (erfecht) ialah hukum yang mengatur kedudukan antara kekayaan seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia. Prof. Wirjono Prododikoro menuturkan bahwa hukum waris sebagai soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang ketika meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Dalam kata lain hukum waris dapat dirumuskan sebagai salah satu peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang ditunjuk .
Menurut A. Pitlo, hukum waris adalah kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga .
Mr. Dr. H.D.M. Knol dalam bukunya BEGINSELEN VAN HETPRIVAATRECHT, menyebutkan hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpiandahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih .
Dari beberapa pengertian di atas bahwa hukum waris merupakan seperangkat hukum yang mengatur perpindahan atau beralihnya harta kekayaan yang ditinggalkan dari pewaris ke ahli waris karena kematian baik memiliki hubungan antar mereka maupun pihak lain.
2. Definisi Hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam persfektif Islam para ulama menyebutkan ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan berupa harta (uang), tanah, ataupun apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i .
Sedangkan Hukum kewarisan menurut KHI sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 poin a adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing .
B. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW)
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi beberapa unsur-unsur persyaratan yang harus dipenuhi :
1. Ada seseorang yang meninggal dunia atau pewaris (erflater).
2. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat meninggal dunia atau ahli waris (erfgenaam).
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan atau harta warisan (nalatenschap).
Dalam hukum waris menurut BW. berlaku suatu asas bahwa “ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang . sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya. Selanjutnya tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata yaitu, sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal .
Asas tersebut dia atas tadi tercantum pada suatu pepatah Prancis yang berbunyi, “le mort saisit le vif”, sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari pewaris (yang meninggal) oleh para ahli waris itu dinamakan saisine .
a. Kewarisan dalam sistem hukum waris BW.
Sistem hukum ini meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada bebrapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris , yaitu:
a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
b. Perjanjian pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun Firma menurut WVK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota persero.
Ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak.
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Berdasarkan pasal 528 KUHPerdata, hak waris diidentikan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan pasal 584 KUHPerdata menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam BW, penempatannya dimasukan dalam buku II BW tentang Benda (pasal 830 s/d 1130) .
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gonogini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asla barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BWyaitu, undang-undang tidak memandang sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. Sistem hukum BW menyebutkan harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan yang bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.
b. Pewaris dan dasar hukum mewarisi
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang memiliki prinsip seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaan setelah meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta kekayaan seseorang tersebut.
Selain undang-undang dasar lainnya yaitu dalam bentuk surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat tersebut dapat diubah dan dicabut. seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. apabila seseorang hanya menetapkan sebagian melalui surat wasiat, selain itu merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang .Wasiat ini sebagaimana tercantum dalam BW pasal 874, 875,879, 880, 890, 893, 894, 895, 897, 930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang mana didalamnya mengatur tentang pembahasan wasiat.
c. Ahli waris dan bagian masing-masing menurut BW.
Ahli waris ialah orang-orang tertentu, yang secara limitative diatur dalam BW, yang menerima harta peninggalan , yaitu:
1. Ahli waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan sendiri atau mewarisi secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. cara ini dikenal dengan pewarisan ab instestato, yaitu perolehan warisan berdasarkan adanya hubungan darah atau disebut pula pewarisan undang-undang, yang mana undang-undang dengan sendirinya menjadi ahli waris. Yang termasuk dalam ab instetato terdapat empat golongan dalam penentuan siapa saja yang berhak mewarisi ini berlaku asas keutamaan golongan, maksudnya apabila golongan teratas tidak ada, maka yang berhak mewarisi adalah golongan di bawah berikutnya, antara lain:
- Golongan I : yaitu suami/isteri yang masih hidup, dan sekalian anak beserta keturunnya dalam garis lurus kebawah.
- Golongan II : yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris. Pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
- Golongan III : Yaitu kakek-nenek yang mana terdapat asas kloving, yaitu harta peninggalan harus dibagi dua, setengah untuk kakek nenen pihak ayah, setengah bagian lain untuk kakek nenek pihak ibu. Hal ini tidak terdapat golongan I dan II (pasal 853 dan 854).
- Golongan IV : Yaitu sanak saudara dalam garis ke samping dan sanak saudara lainnya samapai derajat keenam.
2. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
3. Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan, yaitu dalam hal adanya suatu wasiat yang dibuat oleh pewaris, yang menetapkan bagian tertentu harta peninggalannya diwariskan kepada orang yang bukan ahli waris sebenarnya. pihak ketiga ini bisa pribadi ataupun badan hukum. Cara pewarisan ini dikenal sebagai cara pewarisan testamentaire. Pihak ketiga yang menerima warisan ini disebut legataris sedangakan harta peninggalan tersebut disebut legaat.

Seorang Ahli waris diberi hak untuk berfikir selam empat bulan (pasal 1024 BW) setelah itu harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja menarima warisan dengan syarat yang dinamakan menerima warisan secara benefisiaire yang merupakan jalan tengah antara menerima atau menolaknya. Setelah jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
- Menerima warisan dengan penuh.
- Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa dia tidak akan diwajibkan menbayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah menerima warisan secara beneficiere.
- Menolak warisan
Akibat menolak warisan ialah dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anaknya-anaknya yang masih hidup.

Telah dikemukakan sebelumnya di dalamBW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Maksudnya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula apabila golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua., sedangkan yang lain tidak berhak sama sekali. Berikut bagian masing-masing golongan :
a. Golongan I, bagiannya ditetapkan dalam pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II, bagiannya ditetapkan dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III, bagiannya ditetapkan dalam pasal 853, 858, 859 KUHPerdata
d. Golongan IV, bagiannya ditetapkan dalam pasal 858 ayat 2, 861, 832 ayat 2, 862, 863, 864, 865, 866 KUHPerdata.

Ada pihak yang tersangkut dalam warisan yaitu pihak ketiga, yang dalam BW dikenal adanya:
- Fidei Commis ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya suatu waktu warisan itu harus diserahkan kepada orang lain, yang sudah ditetapkan dalam testament.
- Executer Testamentaire ialah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris.
- Bewindvoerder ialah orang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus harta peninggalan sehinggga ahli waris/legataris hanya menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar harta peninggalan tersebut tidak dihabiskan secara singkat oleh ahli waris/legataris.


d. Peran balai harta peninggalan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tidak seseorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurus itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Dalam tugasnya Balai Harta Peninggalan memiliki kewajiban-kewajiaban dalam mengurusi harta warisan yang tak terurus:
- Wajib membuat perincian inventaris tentang kedaan harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang.
- Wajib membereskan warisan, dalam arti menagih hutang piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris. Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, balai Harta Peninggalan jugawajibkan memeberikan pertanggung jawabkan.
- Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau paggilan resmi lainnya.

Jika dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada Negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik Negara.
e. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
1. Seorang ahli waris membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh.
2. Seorang ahli waris memfitnah.
3. Ahli waris yang dengan kekerasan mencegah atau menghalangi pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
4. Seoarang ahli waris menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.

C. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI).
Hukum kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Hukum kewarisan baru terjadi apabila memenuhi beberapa unsur yang harus dipenuhi, yakni: Pertama, pewaris yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggla berdasarkan putusan Peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Kedua, ahli waris yaitu orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewarsi, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketiga, harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Dasar hukum kewarisan dalam disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 7-14, 33, 34 dan 176, surat al-Baqarah ayat 233, dan surat al-Ahzab ayat 6. Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Ahli waris memiliki kewajiban setalh pewaris meninggal sebelum harta dibagikan antara lain:
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
- Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang.
- Menyelesaikan wasiat pewaris.
- Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 175.

Hal-hal yang menjadi penyebab terhalangnya menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim.
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Ahli waris dan bagian masing-masing.
Pembagian ahli waris yang terdiri dari beberapa pengelompokan, yaitu:
a. Berdasarkan hubungan darah. terdiri dari dua golongan, Pertama, golongan laki-laki: ayah, anak laki-laki, paman, dan kakek. Kedua, golongan perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Bagian-bagian harta warisan sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 176-182 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (pasal 186 KHI).
Wasiat di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat pada hukum perdata BW. Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti anak asuh dan apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh semua ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan peraturan tentang wasiat dalam KHI dapat dilihat pada pasal 194-210 KHI Buku II tentang kewarisan.


BAB III
KESIMPULAN

Dalam hukum waris menurut BW. berlaku suatu asas bahwa “ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya. Selanjutnya tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata yaitu, sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. Dasar hukum seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Hukum kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Wasiat di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat pada hukum perdata BW. Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti anak asuh dan apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh semua ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI).


DAFTAR PUSTAKA

Suparman, Eman, Dr., S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia “Dalam Persfektif Islam, Adat, dan BW. Cet. 2. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007.
Prof. Ali Afandi, S.H., Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Cet. 4. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000.
Drs. Sudarsono, S.H., Hukum waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991.
Kama Rusdiana, MH., jaenal Arifin, MA., Perbandingan Hukum Perdata. Cet. 1. Jakarta. UIN Jakarta Press. 2007.
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: Intermasa. 2003.
Soimin, Soedharyo, S.H., Hukum Orang dan Keluarga. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Himpuanan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2. Jakarta: Fokus Media. 2007.

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More