Dalam ajaran Islam diyakini terdapat sistem hukum yang mengatur segala aspek kehidupan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Keberadaan aturan tersebut adalah cerminan bahwasannya Islam tidak hanya sebagai agama yang mengurusi urusan Ilahiyah semata, namun juga bercita-cita untuk turut serta mewujudkan relasi sosial yang harmonis. Hal tersebut merupakan implementasi dari konsep rahmatan lil’âlamîn atau sebagai agama yang menebar rahmat bagi alam semesta. Salah satu aturan hukum yang ada dalam Islam adalah adanya ketentuan tentang masalah riddah atau murtad, yaitu suatu tindak pidana bagi seorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain
Terdapat beberapa kategori dalam konsep murtad, pertama murtad dengan perbuatan, adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja atau menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan al-Qur’an dan berzina dengan menganggap bahwa zina tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang hukumnya haram. Kedua murtad dengan ucapan, yang maksudnya adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah mempunyai keturunan dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak menjadi suatu larangan. Ketiga murtad dengan itikad, adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (akidah) Islam, yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti beritikad langgengnya alam, Allah itu sama dengan mahluk. Sesungguhnya kalau sekedar itikad tidaklah menyebabkan seseorang menjadi murtad sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صعم : اِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ اُمَّتِي مَاوَسْوَسَتْ اَوْ حَدَّسْتَتْ بِهِ اَنْفُسُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ بِهِ اَوْتَكَلَّمَْ ( رواه مسلم )
Artinya : “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan”. (H.R. Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut jika itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.
Adapun perbuatan murtad diancam dengan tiga macam hukuman :
Hukuman pokok, hukuman pokok perbuatan murtad adalah hukuman mati. Bentuk hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori dari ibn Abas berikut ini :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلاَمِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَمْ أَكُنْ لأَحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ ». وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ». فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ وَيْحَ ابْنَ عَبَّاسٍ.
Artinya : Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud : Sesungguhnya Ali telah membakar orang-orang murtad. Berita Kejadian ini sampai kepada Ibnu Abbas, kemudian dia berkata : Aku tidak akan membakar orang Atheis. Rasul bersabda “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah”. Dan aku akan membunuh mereka karena ucapan Nabi ”Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. Reaksi Ibnu Abbas ini diketahui Ali, lalu Ali berkata ”Ibnu Abbas benar”.
Permasalahan hukuman mati tersebut terjadi perbedaan di antara para ulama. Menurut Syaikh Mahmud Syaltut yang dikutip oleh H.A. Djazuli, menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah, tidak ada sanksi duniawi atasnya. Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 217 hanya menunjukkan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan sanksi akhiratnya adalah kekal di dalam neraka. Adapun hadits yang dipergunakan sebagai dasar untuk hukuman mati di atas tersebut ternyata mengandung banyak masalah di kalangan ulama yang berkisar pada masalah yang sama atau bedanya hukuman bagi laki-laki dan perempuan, perlu dan tidak perlunya orang murtad diberi kesempatan untuk bertobat serta batas kesempatan tersebut. Selain itu hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak dapat dijadikan dasar untuk memberi sanksi. Alasan lain adalah bahwa kekafiran itu sendiri tidak menyebabkan bolehnya seseorang dihukum mati, sebab yang membolehkannya hukuman mati bagi orang kafir itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang Islam. Adapun kekufuran semata jelas dalam al-Qur’an yang dalam beberapa kenyataan ditemukan larangan adanya paksaan dalam agama.
Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang menerangkan bahwa orang murtad harus dihukum mati, sebagaimana sitiran QS. Surat Al Baqarah ayat 256 :
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Q.S. Al-Baqarah : 256)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.(Q.S. Al-Maidah [4] : 54)
Jenis hukuman yang kedua bagi orang murtad adalah hukuman pengganti, maksud dari hukuman tersebut adalah hukuman yang diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan.
Hukuman pengganti ini berupa takzir. Hukuman pengganti ini diberikan kepada pelaku murtad apabila sanksi pokok tidak dapat diterapkan, yaitu jika pelaku murtad telah bertobat. Sanksi takzir yang diputuskan oleh penguasa bisa berupa penahanan sementara, dera, denda ataupun pencelaan dirinya.
Takzir juga berarti hukuman yang berupa memberikan pelajaran, disebut dengan takzir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi yang terhukum untuk tidak kembali kepada perbuatan murtad yang bisa diartikan bertujuan untuk membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan takzir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberikan pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa[3]. Takzir juga sering disamakan oleh para fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kafarat.
Adapun bentuk sanksi yang ketiga bagi orang murtad adalah hukuman tambahan. Jenis hukuman ini adalah dengan merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk mengelola hartanya.
Berkenaan dengan hukuman tambahan yang berupa hilangnya hak-hak orang murtad, maka konsekwensi yang harus ditanggung adalah hilangnya hak untuk :
a. Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Artinya : “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik”. (QS. At Taubah: 84)
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendo’akan orang yang mati dalam keadaan kafir agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah SWT, Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla: (QS Al-Baqarah 98)
Artinya : “Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 98)
Dalam ayat suci ini Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh semua orang kafir. Yang wajib bagi orang mukmin ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir.
b. Gugur hadhanah (hak pengasuhan) terhadap anaknya
Orang murtad gugur terhadap hak pengurusan anaknya. Bila salah seorang di antara ayah atau ibu murtad dari Islam, maka tidak diberikan hak dalam pengurusan terhadap anaknya. Hak hadhanahnya digugurkan, karena akan memberikan jalan bagi dia untuk mengusai anaknya yang muslim, sedangkan orang yang mengurusi anak, maka dia akan berupaya untuk mendidik anak tersebut di atas keyakinan yang dia anut.
c. Gugur perwaliannya.
Orang murtad gugur perwaliannya atau penguasaannya atas kaum muslimin. Orang murtad tersebut tidak memiliki wilayah, tidak boleh diberikan kesempatan untuk menguasai orang muslim. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam Q.S. An Nisa ayat141:
Artinya : “...Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang kafir jalan untuk menguasai kaum muslimin”. (Q.S. An Nisa : 141)
Penafsiran dari ayat tersebut mengandung makna larangan bagi orang muslim untuk memberikan peluang atau kesempatan bagi orang kafir atau orang murtad untuk menguasai diri mereka. Oleh karena dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian orang murtad tidak boleh dijadikan wali anak-anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.
2 komentar:
Bagaimanakah kalau yang murtad adalah ibu kita...apakah kewajiban kita terhadap ibu ? Bagaimana perlakuan kita apabila ibu minta uang untuk membiayai ibadahnya di agama yang baru?
Bagai mana hukumnya apa bila kita tidak sengaja melempar Al-Qur'an yang terletak didalam tas dan tanpa kita ketahui isi dari tas itu adalah AL-Qur'an dan melemparkannya kebawah,bagaimanakah cara kita untuk memohon ampun kepada-Nya?apkah harus melaksanakan sholat taubat dan sebagainya?
Posting Komentar