BAB I
PENDAHULUAN
Aqidah Islam bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah jadi apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib di imani oleh kita sebagai hamba dan umatnya (diyakini dan diamalkan).
Banyak istilah yang digunakan dalam aqidah islamiyah ini, yaitu: Iman, Tauhid, Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Fikih Akbar. Ada yang menyamakan istilah aqidah dan ada juga yang membedakan diantara keduanya tersebut.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Iman dan Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan Aqidah?
3. Apa hubungan antara Aqidah dan Syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Iman dan Islam
1. Pengertian Iman
Iman memiliki banyak definisi dan pengertian yaitu menurut Jahmiah dan As’ariyah yang mengatakan iman hanyalah tasdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan akidah adalah dua kata yang bersinonim. Senada dengan ini menurut Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah i’tiqad, sedangkan amal adalah bukti iman tetapi tidak dinamakn iman . Menurut definisi ulama salaf (termasuk Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i) iman adalah:
إعتقاد بالجنانِ ونطق باللسان وعمل بالأركان.
“Sesuatu yang diyakini di dalam hati, di ucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh.” Dari keterangan ulama salaf di atas bahwa makna iman dan akidah berbeda dan tidak terlalu persis sama. Sedangkan pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) .
Adapun menurut istilah, definsi iman terbagi beberapa pendapat. Pertama, Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) mendefinisikan iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang .
Kedua, banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Ketiga, Abu Manshur al-Maturidi dan Abu Hanifah mendefinisikan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli.
Dalam definisi lain disebutkan Iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dengan lisan, dan amal hati, lisan dan anggota tubuh, iman itu bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat .
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, pengakuan dengan lisan juga pengamalan dengan anggota badan. Iman merupakan membenarkan dengan hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Pengakuan dalam lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat sedangkan mengamalkan dengan anggota badan adalah melakukan ibadah-ibadah sesuai kemampuannya .
- Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij .
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Nerak .
Dan Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan tidak berkurang Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman. Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka.
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan .
2. Tingkatan-tingkatan Iman
Iman itu memiliki rasa, manis dan hakekat.
1. Adapun rasanya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabda-Nya: "Yang merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepada Allahsebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul." HR. Muslim
2. Adapun manisnya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabdanya: "Ada tiga perkara, jika terdapat dalam diri seseorang, niscaya dia merasakan nikmatnya iman: bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari apapun selain keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api neraka." Muttafaqun 'alaih.
3. Adapun hakekat iman, maka bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakekat agama. Berdiri tegak memperjuangkan agama, dalam ibadah dan dakwah, berhijrah dan menolong, berjihad dan berinfak.
Firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {4}
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfaal :2-4)
Firman Allah:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfal: 74)
Firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujuraan :15)
Seorang hamba tidak bisa mencapai hakekat iman sehingga dia mengetahui bahwa apapun yang menimpanya tidak akan luput darinya dan apapun yang luput darinya pasti tidak akan menimpanya.
3. Kesempurnaan Iman
Cinta yang sempurna kepada Allah Rasul-Nya memberikan konsekuensi adanya sesuatu yang dicintainya. Apabila cinta dan bencinya hanya karena Allah, yang keduanya adalah amal ibadah hati, dan pemberian dan tidak memberinya hanya karena Allah, yang keduanya adalah amal ibadah badan, niscaya hal itu menunjukkan kesempurnaan iman dan kesempurnaan cinta kepada Allah.
Dari Abu Umamah, dari Rasulullah bersabda, "Barang siapa cinta karena Allah, memberi karena Allah, dan melarang karena Allah, niscaya dia telah menyempurnakan iman." HR: Abu Daud
5. Pengertian Islam
Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyari’atkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat.
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh ‘alaihis sallam berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa ‘alaihis sallam, yang dibawa oleh Isa ‘alaihis sallam dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim ‘alaihis sallam, Imamul hunafa’ (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedangkan Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Di dalam pengertian lain Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan taat dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan pelakunya. Barangsiapa yang berserah diri kepada Allah saja, maka dia adalah seorang muslim. Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dan yang lainnya, maka dia adalah seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka dia seorang kafir yang sombong .
Jadi dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah berserah diri dan beribadah kepada Allah dengan taat dengan menjalankan syariat dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Islam dalam pemikiran kaum muslim adalah agama pena. Kaum Muslim adalah kaum pena. Penting di catat bahwa wahyu pertama yang diturunkan dalam surat al-Alaq sudah meyinggung hal ini .
B. Definsi Aqidah
Secara etimologi aqidah adalah aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian yang kokoh . Relevansi dari arti kata aqdan dan aqidah adal keyakinan itu tersimpul kokoh didalam hati bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Hasan al-Banna.
العقائد هي الأمر التى يجب ان يصدق بها قلبك وتطمئنّ اليها نفسك وتكون يقينا عندك لايمازحه ريب ولايخالطه شكّ.
Aqa’id adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya (oleh hatimu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun keragu-raguan.
Abu Bakar Jabir al-Jazairy.
Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan didalam hati (oleh manusia) serta diyakini keshahihannya dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan iman itu sendiri telah dijabarkan diatas .
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya apa-apa yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan). Akal pikiran tidaklah menjadi patokan atau menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat di dalam keduanya demi membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Itupun harus disadari bahwa akal tersebut sangat terbatas berdasarkan kemampuan seorang manusia biasa.
Meminjam sistematika Hasan al-Banna aqidah memiliki ruang lingkup tersendiri yaitu:
1. Ilahiyat yaitu membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah seperti wujud Allah, sifat-sifat Allah dan lain-lain berhubungan dengan-Nya.
2. Nubuwat ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan kitab-kitab Allah, mukjizat, keramat.
3. Ruhaniyat yaitu membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin syaitan dan roh.
4. Sam’iyah membahas segala sesuatu yang hanya dapat diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa al-Qur’an dan as-Sunnah) seperti alam barjah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, syurga, neraka, dan lainnya.
C. Hubungan Aqidah dan Syariah
Antara aqidah dan syariah jelas terkait dengan ikatan yang sangat kuat. Boleh dibilang tidak ada aqidah tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa aqidah. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak terpisahkan. Sayangnya, dalam implementasinya, seringkali antara keduanya menjadi terpisah .
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Apabila pondasi lemah bangunan akan cepat ambruk begitu juga aqidah.
Jika ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, ibadah, Akhlak, atau aqidah, syariah dan akhlaq, maka ketiga asfek tersebut tidak dapat di pisahkan sama sekali, satu sam alain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlaq mulia bermuamalah dengan baik. Sesorang tidak dinamai berakhlak mulia jika tidak memiliki akhlak yang baik. Begitu seterusnya.
Contoh yang sederhana ketika membahas masalah hal-hal yang membatalkan iman. Disebutkan bahwa diantara yang membatalkan syahadat dan iman seseorang adalah bila seseorang melakukan kemusyrikan. Secara ilmu aqidah, pernyataan ini benar. Namun bisa menjadi masalah besar dalam implementasinya bila tidak diiringi dengan pemahaman syariah yang benar.
Orang yang menyembah kuburan, menggunanakan jin, jimat, mantera, sihir memang termasuk dikategorikan orang yang melakukan perbuatan syirik. Dan oleh karena itu, secara ilmu aqidah, perbuatan itu dikatakan membatalkan iman dan syahadat.
Peristiwa pengeboman di negara kita yang dituduhkan kepada sebagian orang yang mengaku beragama Islam, adalah salah satu bentuk ketidak-singkronan antara doktrin aqidah dan dalam syariah.
Di dalam syariah dikenal adanya kafir harbi dan kafir zimmi. Kafir harbi harus dibunuh karena bila tidak dibunuh, maka dia akan membunuh kita lebih dahulu. Namun membunuh kafir harbi hanya dibenarkan syariah ketika dilakukan di medan pertempuran yang sesungguhnya, bukan di wilayah yang damai. Membunuh kafir harbi di dalam wilayah damai di luar wilayah pertempuran adalah sebuah pelanggaran syariah.
Demikian juga dengan kafir zimmi, dalam ilmu syariah diharamkan untuk dibunuh, sebagaimana haramnya membunuh sesama muslim. Membunuh kafir zimmi adalah sebuah pelanggaran syariah. Meski doktrin dasar dalam aqidah mengatakan bahwa kita wajib memengangi orang kafir.
Pendeknya, apa yang didoktrinkan di dalam kajian aqidah, harus dijabarkan terlebih dahulu secara rinci dan detail. Dan penjabaran serta perincian itu dilakukan dalam kajian syariah. Itulah pentingnya syariah dalam kajian aqidah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Iman adalah membenarkan dengan hati, pengakuan dengan lisan juga pengamalan dengan anggota badan. Iman merupakan membenarkan dengan hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Pengakuan dalam lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat sedangkan mengamalkan dengan anggota badan adalah melakukan ibadah-ibadah sesuai kemampuannya.
Islam adalah berserah diri dan beribadah kepada Allah dengan taat dengan menjalankan syariat dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam dalam pemikiran kaum muslim adalah agama pena. Kaum Muslim adalah kaum pena. Penting di catat bahwa wahyu pertama yang diturunkan dalam surat al-Alaq sudah meyinggung hal ini.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan iman itu sendiri telah dijabarkan diatas.
Jika ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, ibadah, Akhlak, atau aqidah, syariah dan akhlaq, maka ketiga asfek tersebut tidak dapat di pisahkan sama sekali, satu sam alain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlaq mulia bermuamalah dengan baik.
Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menungkan kritik serta sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua. Amin.
Daftar Pustaka
Ilyas Yunahar, Drs. Lc. 2000. Kuliah Aqidah Islam.Yogyakarta: LPPI.
Akhtar Shabbir. 2002. Merancang Teologi Pembebasan Islam. Jakarta: Nuansa.
Halim H. Abdul, Drs. MA. 2005. Teologi Islam Rasiona. Jakarta: Ciputat Press.
http//: Aqidah, Dakwah. Posted. 13 April 2009. 0:11.
http//: Kaidah Penting, Pemurnian Ajaran. 28 Desember 7:23.
http//: Aqidah Syariah. Ahmad syarwat 28 Juni 09:57.
Abu Ziyad Eko Haryanto. 2007. Makna Iman dan Islam. www. Islamhouse.com.
0 komentar:
Posting Komentar