Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"

Thaharah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW. membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan, serta syariat yang lengkap dan meliputi, yang menjamin bagi kehidupan bersih lagi mulia, dan menyampaikan mereka ke puncak ketinggian dan kesempurnaan.
Kewajiban beribadah bagi umat Islam sebagai manifestasi Iman dari Mukminin dan Mukminat, seharusnya dilakukan dengan tata cara, tempat dan waktu berdasarkan perundangan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul (al-Hadist).
Tata cara peribadatan kaum muslim di Indonesia dilakukan berdasarkan perundangan/hukum fiqih, begitu juga dengan cara bersuci (thaharah) yang dalam fiqih Islam sendiri membahas/mencakup dua pembahasan yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadast.
Pada dasarnya Islam mengajarkan serta mengharuskan kebersihan sebagai realisasi dari pelaksanaan ajaran tentang thaharah, karena Islam sendiri merupakan agama yang mementingkan kebersihan. Sebuah pepatah menyebutkan النظافة من الايمان dan juga sebagai bukti yang cukup jelas dalam al-Qur’an disebutkan, Allah berfirman:
انّ الله يحبّ التّوّابين ويحبّ المتطهرين.(البقرة: ٢٢٢)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222).
Bersuci merupakan sarana diterimanya amal ibadah seseorang yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. dan bersifat horizontal. Islam mensyariatkan untuk bersuci dari hadas kecil dan hadas besar, seperti halnya najis, harus dihilangkan manakala akan beribadah kepada Allah.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi dan Fungsi Thaharah
2. Sarana dan Tingkatan Bersuci
3. Macam-macam Tata cara Bersuci dan Hikmah Bersuci

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Fungsi Thaharah
1. Definisi Thaharah
Secara Etimologi thaharah berasal dari bahasa arab yaitu bersuci , dalam pengertian lain thaharah berarti النظافة (bersih), النزحة (suci), الخلس (terbebas), الدنس (kotoran) yakni bersih suci terbebas dari kotoran. Dalam kitabnya Drs. H. Aly As’ad disebutkan taharah menurut arti bahasa suci dan lepas dari kotoran .
Firman Allah dalam surat al-Baqarah sebagai berikut:
انّ الله يحبّ التّوّابين ويحبّ المتطهرين.(البقرة: ٢٢٢)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222).
Sedangkan secara testimologi adalah menghilangkan yang itu berupa hadast atau najis. Menurut yang dikemukakan para ahli fiqih antara lain sebagai berikut :
- Qadi Husaien
Thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah hadast.
- Imam Nawawi
Thaharah adalah suatu pekerjaan menghilangkan hadast (mandi junub) atau najis (istinja dengan air dan istijmar).
- Syekh Ibrahim Al Bajuri
Thaharah adalah melakukan pekerjaan yang memperbolehkan shalat, seperti mandi, wudlu dan tayamum.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa thaharah adalah mengangkat (menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.
2. Fungsi Thaharah
Thaharah merupakan salah satu syarat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT. Untuk melakukan shalat umpamanya, seseorang terlebih dahulu harus melakukan wudlu’ dan membersihkan najis yang melekat di badan. Demikian juga halnya dengan puasa yang tidak bolah dilakukan oleh orang yang dalam keadaan haid dan nifas. Dengan demikian fungsi thaharah adalah sebagai syarat untuk keabsahan suatu ibadah.

B. Sarana dan Tingkatan Bersuci
a. Sarana Bersuci
Sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudu’ atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk bertayammum, sebagai ganti air dalam berwudu’ atau mandi. Kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadas kecil atau hadas besar. Air sebagai sarana thaharah terbagi kedalam beberapa macam, yakni :
1) Air suci lagi menyucikan disebut air mutlak. Ulama fiqh telah sepakat menetapkan bahwa air jenis ini suci zatnya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air hujan, air sumur, air salju, air mata air, air sungai dan air laut.
2) Air suci lagi menyucikan tetapi makruh memakainya. Air jenis ini merupakan sisa dari minuman binatang seperti ayam, kucing atau burung buas seperti elang dan lain-lain sebagainya. Air ini boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.
3) Air yang suci lagi menyucikan tetapi diragukan kesucianya, seperti air sisa minuman himar (keledai). Bilamana tidak ada air mutlak, air ini boleh dipakai untuk berwudu’ atau mandi, namun harus disertai dengan tayammum dalam rangka mewujudkan kehati-hatian. Bila berwudu’ terlebih dulu dengan air tersebut kemudian bertayamum, menurut kesepakatan ulama fiqh dibolehkan.
4) Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air yang sudah dipakai untuk mengangkatkan hadas atau bentuk ibadat lainnya seperti memperbaharui wudlu’. Air sejenis ini tidak boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, tatapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis.
Di samping empat macam air yang disebut diatas ada lagi yang disebut air yang bercampur, para ahli fiqh membagi air jenis ini menjadi dua macam, yaitu air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang bercampur dengan sesuatu yang tidak suci (najis).
1) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, seperti air mutlak bercampur susu, air buah atau nira dan sebagainya. Bilamana keadaannya berubah secara keseluruhan tidak sah digunakan untuk mengangkatkan hadas. Akan tetapi bila tidak berubah dalam keseluruhan, diperhatikan terlebih dahulu mana yang lebih dominan. Apabila yang lebih dominan adalah air, maka boleh dipakai untuk menghilangkan hadas,. Bila yang lebih dominan adalah campurannya maka tidak sah dipakai.
2) Air yang bercampur najis. Air ini tidak boleh dipergunakan sama sekali, baik untuk menghilangkan hadas maupun kotoran. Najis-najis yang dapat mencampuri air tersebut ada yang disepakati oleh ulama mengenai kenajisannya dan hukum air yang dicampurinya, dan adapula yang diperbedakan. Adapun yang disepakati ialah :
a) Daging babi dengan seluruh bagian tubuh-tubuhnya.
b) Daging bangkai selain hewan air
c) Darah.
d) Kotoran manusia, karena Nabi SAW memerintahkan beristinja’ bagi orang yang buang air besar atau kecil.
e) Air seni (baul)
f) Nanah. Nanah dipandang sebagai najis karena ia merupakan darah yang mengalir.
g) Madzii’; yaitu air putih yang keluar dari kemaluan ketika bercumbu, tetapi tidak dengan syahwat yang tinggi. Madzi dipandang najis karena Nabi menyuruh membasuh bagian tubuh yang dikenainya (HR. Bukhari dan Muslim).
h) Wadi’; yaitu air putih yang keluar mengiringi buang air kecil ataumembawa sesuatu yang berat. Wadi’ dipandang sebagai najis karena ia keluar bersama air kencing.
i) Khamar
j) Daging dan air susu hewan yang tidak dimakan.
k) Bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup.
Adapun najis yang tidak disepakati oleh para ulama tentang kenajisan dan hukum air yang di campurinya ialah :
a) Anjing
b) Bangkai hewan air dan hewan yang tidak mengalir darahnya.
c) Bagian bangkai yang tidak berdarah seperti tanduk dan tulang.
d) Kulit bangkai.
e) Kencing bayi yang belum makan, tetapi masih minum susu ibunya.
f) Kotoran binatang yang dimakan dagingnya, kencing dan sisa makanannya.
g) Mani, baik mani manusia maupun mani hewan.
h) Air bekas luka, bisul atau kudis.
i) Mayat manusia.
j) Air yang mengalir dari mulut orang yang sedang tidur.
b. Tingkatan Bersuci
Sebenarnya arti thaharah itu sangat luas, yang bisa kita golongkan sebagai berikut:
1) Membersihkan tubuh dari hadats, najis dan sebagainya.
2) Membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa.
3) Membersihkan jiwa, jangan sampai menyeleweng atau berakhlak rendah.
4) Kesucian para Nabi, yakni kebersihan hati mereka dari kemusyrikan kepada Allah SWT.

C. Macam-macam Tata Cara Bersuci dan Hikmah Thaharah
Untuk melakukan kaifiat (cara) untuk bersuci dari najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi menjadi tiga bagian:
- Najis Mughalazah yaitu najis anjing, cara membersihkannya dibasuh dengan air yang di campur tanah sebanyak tujuh kali.
الطهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلب ان يغسله سبع مرّات اولا هنّ بالتراب. (رواه مسلم)
“Cara bersuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (HR. Muslim)
- Najis Mukhofafah, misalnya air kencing anak laki-laki yang masih minum ASI.
- Najis Mutawasitoh, yaitu najis yang lain daripada kedua najis diatas, dalam hal ini terbagi menjadi dua macam; pertama najis kumiah yang diyakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya. Contohnya air kencing yang telah lama kering. Kedua najis ainiyah yaitu masih ada zat, warna, rasa dan baunya, kecuali warna atau bau yang sangat sukar hilang itu dimaafkan.
Thaharah memiliki macam-macam, yaitu terdiri dari dua macam, antara lainnya adalah sebagai berikut :
1) Bersuci dari hadats, baik dari hadats besar maupun kecil. Jenis thaharah ini adalah khusus yang mengenai tubuh, seperti wudu’, mandi dan tayammum .
Hadas ialah keadaan yang menghalangi thaharah. Hadas terdiri dari dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil adalah suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan wudu’ atau tayammum, sebagai ganti dari pada wudu’. Orang yang tidak berwudu’ disebut hadas kecil. Sedangkan hadas besar ialah suatu keadaaan seseorang yang mesti dibersihkan atau disucikan dengan mandi atau tayammum, sebagai ganti dari mandi, seperti orang yang sedang junub dan wanita yang sedang haid. Adapun kotoran adalah najis hakiki seperti darah, tinja dan lain-lain sebagainya.
2) Bersuci dari khubuts (najis), baik yang ada pada tubuh, pakaian maupun tempat, yaitu dengan cara menghilangkan najis tersebut.
Najis secara garis besarnya terbagi kedalam dua macam, yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis hakiki adalah kotoran yang menghalangi keabsahan shalat tanpa ada keringanan, seperti darah dan kotoran manusia. Sedangkan najis hukmi ialah suatu hal yang dipandang ada pada anggota badan yang secara hukum menghalangi keabsahan shalat. Yang termasuk kedalam najis hukmi ialah hadas kecil yang harus dihilangkan dengan wudu’ dan hadas besar yang harus dihilangkan dengan mandi.
Dalam Syariat Islam, bersuci mempunyai beberapa hikmah serta manfaat yang cuk banyak diantaranya: Menjaga Kesehatan, mengutamakan kebersihan dan kesucian, mempertinggi harkat dan martabat manusia dan menunjukan pembuktian awal penundukannya dalam artian sebagai hamba allah yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat syah ibadah.

BAB III
IKHTITAM

Kesimpulan
Thaharah adalah mengangkat (menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis. Fungsi thaharah adalah sebagai syarat untuk keabsahan suatu ibadah.
Sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudu’ atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk bertayammum, sebagai ganti air dalam berwudu’ atau mandi.
Sebenarnya arti thaharah itu sangat luas, yang bisa kita golongkan sebagai berikut membersihkan tubuh dari hadats, najis dan sebagainya. Kemudian membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa. Selanjutnya membersihkan jiwa, jangan sampai menyeleweng atau berakhlak rendah dan yang terakhir kesucian para Nabi, yakni kebersihan hati mereka dari kemusyrikan kepada Allah SWT.
Macam-macam cara bersuci Najis Mughalazah, najis mukhofafah dan najis mutawasitoh. Dan terdapat hikmah tersendiri bersuci dalam syariat Islam juga manfaatnya cukup banyak dan sudah sangat banyak kita rasakan saat ini diantaranya: Menjaga Kesehatan, mengutamakan kebersihan dan kesucian, mempertinggi harkat dan martabat manusia dan menunjukan pembuktian awal penundukannya dalam artian sebagai hamba allah yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat syah ibadah.


DAFTAR PUSTAKA

Sabiq Sayyid.1995. Fiqih Sunnah.Bandung: Al-Ma’arif.
Aliy As’ad. H. Drs.1980. Fathul Mu’in.Yogyakarta: Menara Kudus.
Drs. Slamet Abidin, Drs. Moh. Suyono. 1998. Fiqih ibadah.Bandung: Pustaka Setia.
Sulaiman Rasjid. H. 1997. Fiqih Islam.Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Ibnu Rusyd Muhammad bin Ahmad. 1990. Bidayatul Mujtahid Jilid 1 Terjemah. Semarang: As Syfa’.





0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More