Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"
Tampilkan postingan dengan label Perwakafan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perwakafan. Tampilkan semua postingan

Strategi Pengelolaan Dan Pengembangan wakaf

a.Pengelolaan Wakaf Tradisional
Dalam Periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah Mahdhah (pokok), Yaitu kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik. Seperti Mesjid, musholla, Pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan konstribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.

b. Pengelolaan Wakaf Semi-Profesional
Periode Semi-Profesional adalah masa dimana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan mesjid-mesjid yang letaknya startegis dengan menambah gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lainnya seperti masjid sunda kelapa, masjid pondok indah, mesjid At-taqwa pasar minggu, masjid Ni’matul ittihad pondok pinang (semunya di jakarta) dan lain-lain. Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan dibidang pendidikan (pondok pesantren), meski pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional. Pola pemberdayaan wakaf seperti ini sudah oleh pondok pesantren Assalam gontor, ponorogo. Adapun secara khusus mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh yayasan wakaf Sultan Agung, secara intensif terhadap pengembangan pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh yayasan wakaf Paramadina dan seterunya.

c. Pengelolaan Wakaf Profesional
Periode pengelolaan wakaf secara professional ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif, keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: Manjemen, SDM kenadziran, pola kemitrausahan, bentuk benda seperti uang, saham, dan surat berharga lainnya, dukungan political Will pemerintah secara penuh salah satunya lahirnya UU Wakaf. Dalam mengelola wakaf secara professional paling tidak, ada tiga filosofi dasar yang yang ditekankan ketika kita hendak memberdayakan wakaf secara produktif, Pertama pola manajemennya harus dalam bingkai “ Proyek terintegrasi”, bukan bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum didalamnya. Kedua, Asas kesejahteraan Nadzir, sudah terlalu lama nadzir diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta’ala (atau dalam pengertiannya sisa waktu dan bukan perhatian utama). Oleh karena itu saatnya kita menjadikan nadzir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia. Dan Alhamdulillah, di Indonesia sesuai dengan undang-undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf, Nadzir mendapatkan 10% dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Ketiga, Asas Transparansi dan Accountabilitas dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan tiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk autided financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya

STRATEGI

1. Pengertian Strategi
J L Thompson (1995) mendefinisikan strategi sebagai cara untuk mencapai sebuah hasil akhir: ‘Hasil akhir menyangkut tujuan dan sasaran organisasi. Ada strategi yang luas untuk keseluruhan organisasi dan strategi kompetitif untuk masing-masing aktivitas. Sementara itu, strategi Fungsional mendorong secara langsung strategi kompetitif’. Bennet (1996) menggambarkan strategi sebagai arah yang dipilih organisasi untuk diikuti dalam mencapai misinya’. Mintzberg menawarkan lima kegunaan dari kata strategi , yaitu :

a. Sebuah rencana – suatu arah tindakan yang di inginkan secara sadar;

b. Sebuah cara – suatu manuver spesifik yang dimaksudkan untuk mengecoh lawan atau kompetitor;

c. Sebuah pola – dalam suatu rangkaian tindakan;

d. Sebuah posisi – suatu cara menempatkan organisasi dalam sebuah lingkungan;

e. Sebuah perspektif – suatu cara yang terintegrasi dalam memandang dunia.

Strategi adalah pusat dan inti yang khas dari manajemen strategik. Strategi mengacu pada perumusan tugas, tujuan, dan sasaran organisasi; strategi kebijakan dan program pokok untuk mencapainya; dan metode yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa strategi telah diimplementasikan untuk mencapai tujuan akhir organisasi.[5]

2. Tujuan Strategi
Strategi dalam pemasaran bertujuan untuk mencari atau menciptakan Kondisi paling menguntungkan untuk menjual produk. Beberapa Komponen dalam strategi pemasaran antara lain :

a. Menentukan segmen pasar, yaitu menentukan siapa yang paling mungkin dan memastikan menjadi pangsa pasar dari produk yang kita jual.

b. Menetapkan target penjualan, yaitu merencanakan berupa jumlah produk yang paling optimal masuk ke segmen pasar. Misalnya produk kita souvenir pernikahan, segmen pasarnya adalah orang yang punya hajat pernikahan, maka kita harus mentarget jumlah maksimal pada bulan-bulan orang melakukan pernikahan.

c. Memberikan pemahaman pasar terhadap produk, yaitu upaya agar sedapat mungkin keunggulan produk kita mampu membentuk imej di masyarakat, sehingga produk kita mudah di kenal dan dikenang. Misalnya, orang senang sepeda motor merk Honda, karena keiritannya. Jadi penekanan pembentukan imej adalah sesuatu kelebihan yang ada pada produk kita dibanding produk lain.

Dari tiga komponen tersebut dapat diaplikasikan menjadi strategi yang kita susun sehingga siap bersaing di pasar dengan kompetitor lain. Jadikanlah pasar sebagai obyek penentu agar mereka membeli, membeli, dan membeli lagi produk yang kita hasilkan, sehingga produk tersebut akan semakin dikenal di pasar.[6]

3. Elemen Dari Sebuah Strategi Yang Berhasil
Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa jika suatu straegi harus berhasil dalam mewujudkan efisiensi dan pemerataan yang optimum dalam menggunakan sumber daya yang terbatas maka ia harus mengandung tiga elemen: (a) sebuah mekanisme filter yang memungkinkan individu memilih antara penggunaan tidak terbatas terhadap sumber daya-sumber daya dalam suatu cara tertentu sehingga klaim-klaim agregat tidak melebihi penawaran yang ada dan sasaran-sasaran sosioekonomi dalam sistem itu dapat direalisasikan, (b) sebuah mekanisme yang dapat memberikan motivasi kepada individu untuk menggunakan miliknya yang terbaik menurut kehendak mekanisme filter tersebut dengan mengabaikan apakah hal itu akan memberikan maslahat kepada kepentingan mereka atau kepentingan masyarakat, dan (c) restrukturisasi sosioekonomi untuk membantu mentransfer sumber daya-sumber daya terbatas dari satu penggunaan kepada penggunaan yang lain sehingga pemerataan dan efisiensi optimum dapat diwujudkan.
Strategi yang diajukan di atas tidak cukup diperlengkapi dengan tiga elemen pokok saja, tetapi selayaknya menyuntikkan pula suatu dimensi moral ke dalam sistem ekonomi. Setiap sistem ekonomi yang mempunyai jawaban-jawaban sekuler terhadap pertanyaan metafisika yang disebutkan di atas, arti dan tujuan hidup, kepemilikan yang sebenarnya dan tujuan sumber daya yang terbatas serta hak-hak dan kepentingan individu dalam masyarakat, tidak akan dapat memberikan motivasi efek.

Syarat Dan Rukun Wakaf

1) Wakif (Pemberi Wakaf)
Persyaratan seorang calon wakif agar sah adalah harus memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan atau memanfaatkan hartanya, kecakapan bertindak disini meliputi empat(4) kriteria, yaitu:
1) Merdeka
2) Berakal Sehat
3) Dewasa (Baligh)
4) Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai).

2) Mauquf ‘Alaih ( Yang Diberi Wakaf )
Mauquf ‘Alaih diisyaratkan harus hadir sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka terhadap Allah SWT, dan orang yang menerima wakaf itu harus jelas tidak diragui kebenarannya. 

3) Mauquf Bih (Harta Wakaf)
Benda yang diwakafkan disebut dengan mauquf bih. Sebagai obyek wakaf, mauquf bih merupakan hal yang sangat penting dalam perwakafan. Namun demikian, harta yang diwakafkan tersebut bisa dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Benda harus memiliki nilai guna.
2) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
3) benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
4) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik sempurna (Al-milik At-tamm) siwakif ketika terjadi akad wakaf. 

4) Shigat (Ikrar Wakaf)
Pernyataan wakif yang merupakan tanda yang penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyataan itu, tanggallah hak wakif atas benda yang diwakafakan. Benda itu kembali menjadi hak milik mutlak Allah yang dimanfaatkan oleh orang atau orang-orang yang tersebut dalam ikrar wakaf tersebut. Karena tindakan mewakafkan sesuatu itu dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak. Maka dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab, perwakafan telah terjadi. Pernayataan dari mauquf ‘alaih yakni orang atau orang-orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan. Dalam wakaf hanya ada ijab tanpa qabul. 

5) Nazhir (Pengelola Harta Wakaf)
Persyaratan nazhir wakaf itu adalah diungkapkan sebagi berikut:
a) Syarat Moral, yaitu: Pertama, Paham tentang hukum wakaf dan zis, baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan Negara RI. Kedua, Jujur, Amanah, dan adil sehingga dapat percaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf.
b) Syarat Manajemen: yaitu, Pertama: Mempunayi kapabilitas yang baik dalam leadership. Kedua: mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan pemberdayaan.
c) Syarat Bisnis, yaitu: Pertama: Mempunyai Keinginan. Kedua: Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan. Ketiga, Mempunyai ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya enterpreunership.

Perundang-undangan Wakaf

1) Undang-undang No.5 tahun 1960 tanggal 24 september 1960 tentang peraturan tentang dasar pokok-pokok agraria. Pasal 49 ayat (1) memberikan isyarat bahwa “ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah ”.
2) Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tahun 23 maret tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf.
3) Peratuan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, dikeluarkan PP No.30 tahun 1963 ini sebagai salah satu realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi: ”Oleh pemerintah ditetapakan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.”
4) Peraturan pemerintah No.28 Tahun 1977 tanggal 17 mei 1977 tentang perwakafan milik tanah.
5) Peraturan Mentri Dalam Negri No.6 tahun 1977 tanggal 26 november 1977 tentang tata pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik.
6) Peraturan Mentri Agama No.1 Tahun 1978 tentang peraturan pelaksanaan peraturan pemerintah No.28 Tahun 1977 tanggal 10 januari 1978 tentang perwakafan tanah milik.
7) Peraturan Mentri Dalam Negri No.12 Tahun 1978 tanggal 3 agustus 1978 tentang penambahan ketentuan mengenai biaya pendaftaran tanah badan-badan hukum tertentu pada peraturan Mentri Dalam Negri No.2 tahun 1978.
8) Instruksi Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negri No.1 tahun 1978 tanggal 23 januari 1978 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah No.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
9) Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, No/Kep/D/75/787 tanggal 18 april 1978 tentang formulir dan fenomena pelaksanaan peratutran-peraturan tentang perwakafan tanah milik.
10) Keputusan Mentri Agama No.73 tahun 1978 tanggal 9 agustus 1978 tentang pendelegasian wewenang kepala-kepala kantor wilayah Depatermen Agama provinsi atau setingkat diseluruh wilayah Negara Indonesia untuk mengangkat atau memberhentikan setiap kepala kantor urusan agama kecamatan sebagai pejabat pembantu ikrar wakaf (PPAIW).
11) Instruksi Mentri Agama No.3 tahun 1979 tanggal 19 juni 1979 tentang pelaksanaan keputusan Mentri Agama No.73 tahun 1978.
12) Surat Direktorat Jendral Bimbingan Islam dan Urusan haji No. D11/5/Ed/14/980 tanggal 25 juni 1980 tentang pemakaian bermaterai dengan lampiran surat Dirjen pajak No. 5-624/Pj. 331/1980 tanggal 29 mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf nama yang bebas materai, dan jenis formulir nama yang dikenal Bea materai dan berapa besar Bea materainya.
13) Surat Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.D11/1981 tanggal 16 april 1961 tentang peruntukan pemberian nomor pada formulir perwakafan tanah.
14) Surat Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.D11/Ed/07/1981 Kepala gubernur, kepala Daerah Tingkat 1 diseluruh Indonesia, tentang pendaftaran perwakafan tanah milik dan permohonan keinginan pembebasan dari semua pembebanan biaya.
15) Undang-undang Republik Indonesia No.41 Tahun 2006 Tentang Wakaf.
16) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2006, Tentang Pelaksanaan Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.

Macam-Macam Wakaf

Bila ditinjau dari segi peruntukkan ditunjukkan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua  macam:

1) Wakaf Ahli
Yaitu Wakaf yang ditunjukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut Wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya , lalu kepada cucunya , wakafnya sah dan yang berhak yang mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan keluarga (family), lingkungan kerabat sendiri. Dalam satu segi, wakaf (dzurri) ini baik sekali , karena si wakif akan mendapat dua kebaikan dari amal ibadah wakafnya , juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah , seperti: Bagaimana kalau anak cucu yang sudah tidak ada lagi (punah)? Siapa yang berhak mengambil manfaat benda (harta wakaf) itu? Sebaliknya, bagaimana jika anak cucu siwakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang cara meratakan pembagian hasil harta wakaf?

Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Di beberapa negara tertentu seperti : Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif. Untuk itu, dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir,MA. Bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.

2) Wakaf Khairi
Yaitu, Wakaf yang secara tegas untuk kepentingan keagaman atau kemasyarakatan (kebajikan umum), seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya. Dalam tinjauan penggunaanya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis ini juga, si wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja beribadah disana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana yang telah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat Ustman bin Affan. Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakannya (memanfaatkan) harta dijalan Allah SWT. Dan tentunya dilihat manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik dibidang keagamaan, khususnya peribadatanya, perokonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.

Pengertian Wakaf Dan Sejarah Wakaf Uang

Kata wakaf  berasal dari bahasa arab “waqafa”.Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau diam ditempat atau tetap berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan” . Kata Al-Waqf dalam bahasa arab mengandung beberapa pengertian,yaitu:
الو قف بمعنى التحبيس والتسبيل

Artinya, Menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahkan.
Menurut istilah Ahli Fiqih.
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakekat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf itu sendiri menurut istilah sebagai berikut:
a. Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik siwakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari siwakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika siwakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli waris. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah, ”menyumbangkan manfaatnya”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: ”Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”, seperti wakaf buah kelapa.

b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakif tersebut mencegah wakaf melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

c. Mazhab Syafi’i Dan Ahmad Hambal
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif. Setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.. Seperti: perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar-menukar) atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf alaih, karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : ”Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

d. Mazhab Imamiyah
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu milik mauquf alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau mengibahkannya.
Pengertian wakaf uang, sejak awal perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada benda wakaf yang tidak bergerak, sedangkan wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Diantara wakaf benda bergerak yang ramai diperbincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan Cash waqf. Cash Waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik objek barangnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk tunai/uang. Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ‘fuqaha (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktekkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Cara melakukan wakaf uang (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf. Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah romawi, sedangkan di negri lain wakaf uang bukan merupakan kebiasaan . Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa bahwa wakaf uang tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh adalah mazhab Syafe’i. Menurut Al-Bakri,mazhab Syafe’i tidak membolehkan wakaf uang, karena dirham dan dinar (baca”uang”) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya. Perbedaan pendapat diatas, bahwa alasan boleh tidaknya wakaf uang berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama?. Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat memungkinkan untuk melaksanakan wakaf uang . Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, atau yang lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam waktu yang lama.

Sejarah wakaf uang, praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam, bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktekkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktek sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktek masyarakat sebelum Islam. Sedangkan wakaf tunai (uang) mulai dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir.
a. Wakaf Uang secara umum
Praktek sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat ibadah yang di bangun diatas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Mesjid Al-haram di Mekkah dan masjid Al-Aqsa misalnya telah dibangun diatas tanah yang bukan milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua mesjid itu dimanfaatkan untuk kemashlahatan umat. Praktek semacam ini sebelum Islam telah dikenal praktek sosial dan diantara praktek-praktek sosial itu adalah praktek menderma sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.

b. Wakaf Uang
Mengenai wakaf uang secara Wahbah Zuihaili menjelaskan bahwa ulama mazhab maliki memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan hadis nabi Muhammad SAW dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti Baju perang,binatang, dan harta lainnya serta hal tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW. Secara Qiyas, wakaf uang dianalogikan dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syarat ‘illah (sebab persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang diqiyaskan (maqis dan maqis ‘alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal selamanya.

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More