Disusun Oleh:
Erwin Hikmatiar
Neneng Khoiroh Zuhriyah
Nurul Hikmah
Wardhatul Jannah
JURUSAN PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang
yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan”
tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan
ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi
pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali
di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang
mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan
al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk
hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan
ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para
ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan
selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy.
Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para
pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan
tentang imam mazhab keempat yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal
oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan
sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial,
budaya serta politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum
yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Imam Ahmad Ibn Hanbal
1.
Biografi
Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkap Ahmad Ibn Hanbal
ialah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn
Asad Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hasan al-Syaibani. Panggilan sehari-harinya Abu
Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun
164 Hijriah (780 Masehi). Ayahandanya bernama Muhammad al-Syaibani telah
meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau
tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syarifah Maimunah binti abd
al-Malik al-Syaibani.[1]
Imam Ahmad ibn Hanbal sejak kecil
telah kelihatan sangat cinta kepada ilmu dan sangat rajin menuntutnya. Ia terus
menerus dan tidak jemu menuntut ilmu pengetahuan sehingga tidak ada kesempatan
untuk memikirkan mata pencariannya.[2]
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Imam
yang keempat dari fuqaha’ Islam. Ia adalah orang yang mempunyai sifat-sifat
luhur dan budi pekerti yang tinggi. Imam Ahmad juga adalah seorang yang zuhud,
bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal
seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak
segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih
benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam
pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali
kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru
Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu
hadispun kecuali mengamalkannya. Sehingga ada suatu
kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada
ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang
beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya
juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang
yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.
2.
Latar Belakang Pendidikannya
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah
binti Maimunah binti ‘Abdul Malik al-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik
dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.[3]
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad, saat itu
kota Baghdad selain merupakan kota yang besar dan ramai, juga merupakan pusat
ilmu pengetahuan dan merupakan pusat peradaban dunia Islam.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah
goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak
lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,
terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.”[4]
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil
hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya
beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 Hijriyah saat
berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah
kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya
tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil
hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun
186 Hijriyah, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah
lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang
beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan
Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya
dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”
Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi
fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya
(ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu
dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar
enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama
kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir
dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah
wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa
ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah,
Fadha’il ash-Shahabah
B. Pola Pemikiran,
Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Ahmad ibn Hanbal dalan
Menetapkan Hukum Islam
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah
seorang pemuka Ahlu-al Hadits yang telah disepakati oleh para ulama, namun
sebagai seorang ahli fiqih masih diperselisihkan. Oleh karena itu, Imam ibn
Jarir al-Thabary tidak memperhitungkan pendapat-pendapatnya dalam menghadapi
khilaf dalam masalah fiqh dikalangan para fuqaha’. Menurutnya , Imam Hanbali
termasuk ahlu al-hadits, bukan ahlu al-Fiqh. [5]
Imam hanbali pada dasarnya tidak
menulis kitab fiqh secara khusus karena semua masalah fikih yang dikaitkan
dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan
yang pernah ditanyakan kepadanya. Sedangkan yang menyusunnya sehingga menjadi
sebuah kitab fikih adalah para pengikutnya. FIqih Ahmad ibn Hanbal dapat
dipastikan sangat diwarnai oleh hadits.
Adapun aliran keagamaan Islam
Imam Ahmad ibn Hanbal menurut ulama kalam adalah termasuk aliran Ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah. Tetapi Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa imam Ahmad ibn Hanbal tidak
termasuk aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, melainkan hnya orang yang
pendapatnya sesuai dengan pendapat Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Al-Syahrastaniy
memasukan Imam Ahmad dalam kelompok Ashab
al-Hadits. Atas dasar itu, maka
jelas bahwa Imam Ahmad adalah termasuk dalam aliran Ahlu al-Sunnah wa
al-Jamaah.
Sebagai ulama dari golongan Ashab al-Hadits, apalagi dikatakan Imam
Ahmad itu termasuk Imam Ahlu al-Sunnah pada zamannya, sehingga sebagai Muhadditsin, tentulah ia akan sangat
besar pengaruhnya terhadap pendapatnya.
Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana
disebutkan di atas, lahir dan hidup di kota Baghdad. Kota Baghdad sebagai
ibukota khilafah Islamiyah pada masa itu, jelas lebih ramai dan kebudayaannya
lebih maju dari pada Hijaz pada umumnya, demikian pula masyarakatnya pun sudah
sangat heterogen. Masalah hukum yang timbul di Baghdad , jelas lebih
banyakdibandikan yang timbul di Madinah aytau Hijaz pada umumnya. Dalam keadaan
seperti inilah Imam Ahmad ibn Hanbal mengembangkan ajaran agamanya. Tetapi
karena ia terkenal sebagai Muhadditsin,
bahkan sebagai Imam al-Sunnah pada masanya, kita akan dapat melihat perbedaan
hasil ijtihad antara para imam Mazhab yang empat itu, khususnya antara Imam Abu
Hanifah dengan Imam Ahmad ibn Hanbal yang sama-sama hidup di kota Baghdad,
namun yang satu termasuk Ahl-al-Ra’yi dan
yang lainnya Ahl al-Hadits. Karena Imam Ahmad termasuk Ahl al-Hadits,
bukan Ahli Fikih menurut sebagian ulama , maka tampak jelas bahwa sunnah sangat
mempengaruhinya dalam menetapkan hukum. Tetapi karena ia termasuk Imam al-Rihalah, ada pula pengaruhnya
dalam menghadpi perubahan keadaan yang sudah jauh berbeda dari keadaan pada
zaman Rasulullah SAW., yang diketahui dari hasits-hadits, terutama dalam bidang
siyasah . karena itu dalam siyasah ini Imam Ahmad sering
menggunakan Mashlahah Mursalah dan Istihsan sebagai dasar hukum bila tidak
ditemukan n ash atau qaul sahabat. Karena Imam Ahmad sebagai Ahl al-Hadits, maka ia sangat kuat
berpegang kepada hadits, bahkan hal tersebut menjadikan ia terlalu takut untuk
menyimpang dari ketentuan hadits, bahkan ketentuan atsar, hal tersebut tampak
jelas, ketika ia menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi di antara para
Tabiín dimana ia tidak berani memilih salah satu di antara pendapat-pendapat
yang dikemukakan oleh para Tabiín tersebur, apalagi pendapat para sahabat Nabi
SAW.
Adapun metode Istidlal
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
1.
Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahih
Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah menemukan
Nash, baik dari Al-Qur’an maupun dari al-Hadis al-Shahih, maka dalam menetapkan
hukum islam beliau akan menggunakan Nash tersebut sekalipun ada faktor lain
yang bisa dipakai bahan pertimbangan. Seperti dalam masalah iddah wanita hamil
yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak memakai fatwa Abdullah bin Abbas sama
dengan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa masa iddahnya adalah rentang
waktu terpanjang dari dua ketentuan masa iddah dan tetap berpegang pada nash
Al-Qur’an, yaitu empat bulan sepuluh hari.[6]
2. Fatwa para Sahabat Nabi SAW
Apabila ia
tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qurán maupun dari hadits
sahih , maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para Sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan diantara mereka.
3.
Fatwa para Sahabt
Nabi yang timbul dalam perselisihan diantara mereka yang diambilnya yang lebih
dekat kepada nash Al-Qurán dan sunah. Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa
para sahabat Nabi yang disepakati sesame mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan
cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang dipandang lebih dekat kepada Al-Qurán
dan Sunnah.
4.
Al-Hadis al-Mursal dan al-Hadis a-Dhaif
Menggunakan hadis mursal dan hadis dhaif jika tidak
ada dalil lain yang menguatkannya didsahulukan daripada qiyas. Adapun hadis
dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis batil atau munkar, atau ada
perawinya yang dituduh dusta serta tidak boleh diambil hadisnya. Namun yang
beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat
tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka
beliaupun bagian dari hadis yang Shahih.[7]
5.
Qiyas
Apabila Iman Ahmad
tidak mendapatkan nash, baik Al-Qurán dan Sunnah yang sahih serta fatwa-fatwa
sahabt, maupun hadits dhaíf dan mursal,
maka Imam Ahmad dalam menetapkan
hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang
Imam Ahmad pun menggunakan al-Maslahih
al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad
pernah menetapkan hukum Ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan
menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum
khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh
pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan Istihsan,
Istishab, dan sad al-Dzaraí, sekalipun
Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Imam Ahmad ibn Hanbal
mengkaji serta meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan
halal dan haram. Begitu pula terhadap sanad-sanad hadits itu , tetapi beliau
agak longgar sedikit dalam menerima hadits-hsdits yang berkaitan dengan
ajran-ajaran akhlak dan keutamaan-keutamaan dalam amal ibadah dan adat istiadat
yang terpuji, sebgaimana Imam Ahmad menyebutkan sebagai berikut: “Apabila kami
terima dari Rasulullah hadits yang mennerangkan halal dan haram , juga
menerangkan tentang Sunnah dan hukum-hukum , kami menelitinya dengan sangat
hati-hati dan begitu juga sanad-sanadnya, tetapi apabila kami menerima hadits
tentang masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit”.
C. Penulisan Madzhab Imam Ahmad
Imam Ahmad tidak menuliskan madzhabnya,
bahkan beiau tidak suka ada yang menulis pendapat dan fatwanya. Kalaupun ada,
hanya berupa catatan kecil khusus untuknya yang memuat beberapa masalah fiqh,
dan tidak boleh dituls hanyalah Al-Qur’an dan sunnah agar beliau tetap menjadi
referensi utama masyarakat untuk mempelajari hukum taklif.
Adapun orang pertama yang menyebarkan
madzhab Imam Ahmad adalah putranya yang bernama Shahih bin Ahmad bin Hanbal
(wafat 266 H). Beliau menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirim surat
kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan ayahnya,
beliau pernah menjabat sebagai hakim, mencuplik pendapat ayahnya dan diterapkan
langsung.
Putra Imam Ahmad yang bernama Abdullah bin Ahmad (wafat 290 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al-Musnad dab menyusunnya serta menukilkan fiqh ayahnya walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadis.
Putra Imam Ahmad yang bernama Abdullah bin Ahmad (wafat 290 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al-Musnad dab menyusunnya serta menukilkan fiqh ayahnya walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadis.
Beberapa murid Imam Ahmad yang giat
menulis madzhab dan menyebarkannya antara lain:
1. Abu Bakar
Al-Asyram (wafat 261 H), ia berguru pada Imam Ahmad sangat lama sekali.
2. Abdul Malik Al-Maimuni (wafat 274 H), ia
berguru kepada Imam Ahmad selama 20 tahun.
3. Abu Bakar
Al-Marwaruzi (wafat 275 H), termasuk mmurid yang paling istimewah bagi Imam Ahmad.
Ia meriwayatkan banyak masalah dari Imam Ahmad.
Disamping mereka masih ada lagi para fuqaha’ yang menjadi murid Imam Ahmad. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan.
Disamping mereka masih ada lagi para fuqaha’ yang menjadi murid Imam Ahmad. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan.
Disamping
mereka , masih ada lagi para Fuqaha’ yang menjadi murid Imam Ahmad. Mereka menulis
dan mengumpulkan pendapat sang Imam kemudian membuat penjelasan. Salah satu
diantara mereka adalah Umar ibn Abi Ali Al Husain Al-Hazmi (wafat 234 H) yang
menulis kitab Monumental, Mukhtasahar
Al-Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh Ibnu Qudamah menjadi kitab
Al-Mughni.
Setelah mereka datanglah dua imam besar
yang mengafiliasikan diri pada mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal, yaitu Ahmad
Taqiyuddin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751
H). Keduanya dikenal sebgai orang yang memisahkan diri pada mazhab hanbali,
baik dalam dasarnya dan kaidahnya. Akan tetapi, keduanya memiliki manhaj sendiri dalam istibat.[8]
D.
Musnad Imam
Ahmad
Musnad adalah kumpulan beberapa hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ia mulai mengumpulkannya sejak pertama kali
belajar hadis dan terus berlanjut akhir hayatnya. Imam Ahmad menulisnya tidak
beraturan dan tidak tersusun rapi dan ketika usianya sudah senja dan takut ada
yang hilang, lalu ia pun membacakannya pada anak-anaknya serta keluarganya
secara tidak beraturan seperti pada mulanya, kemudian datanglah Abdullah
ananknya yang enyusunnya semula sesuai dengan klasifikasinya. Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa Abdullah bin Ahmad yang mengumpulkan kitab
Al-Musnad dan menyuusunnya dengan gaya yang agak asing dari kebiasaan para ahli
hadis sebab semua kitab hadis shahih disusun berdasarkan susunan bab fiqh
sehingga mudah dipahami. Sedangkan susunan kitab Al-Musnad disusun berdasarkan
sahabat, hadis yang diriwayatkan oleh Abu bakar dan sunnah yang diriawyatkan
darinya disusun dalam bab yang diberi nama musnad Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
dan demikianlah seterusnya. Tentu cara ini menyulitkan orang lain untukmencari
temanya sesuai dengan kandungan hadis Nabi SAW, tetapi bisa jadi ada manfaat
lain bagi yang ingin melihat pendapat fiqh seorang sahabat.
Imam Ahmad telah mencurahkan
pengorbanan yang sangat banyak dan manhaj yang betul dalam menulis kitab
Al-Musnad. Beliau meriwayatkan dari yang tsiqah dizamanya dengan syarat
hadisnya bersambung kepada Nabi SAW dan setiap yang tidak bersambung sanadnya
maka dianggapnya hadis dhaif, walaupun perawihnya tsiqah. Dan dengan cara ini
beliau berhasil mengumpulkan banyak hadis, memilihnya yang sudah dikumpulkannya,
menghapus sebagian yang meragukan dan terus dilakukannya, bahkan sampai beliau
sakit yang berujung dengan kematiannya. [9]
E. Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal
Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang
ahli mengajar dan ahli mendidik , ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai
beberapa kitab yang telah disusun dan telah direncanakannya, yang isinya sangat
berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Diantara kitab-kitabnya
adalah sebagai berikut :
1. Kitab
al-Musnad.
2. Kitab Tafsir
al-Qurán.
3. Kitab
al-Nasikh wa al-Mansukh.
4. Kitab
al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qurán.
5. Kitab Jawabu
al-Qurán.
6. Kitab
at-Tarikh
7. Kitab
Manasiku al-Kabir.
8. Kitab
Manasiku al-Shaghir.
9. Kitab Thaátu
al Rasul.
10. Kitab
al-Íllah.
11. Kitab
al-Shalah.
Ulama-ulama besar yang pernah
mengambil ilmu dari Imam Ahmad ibn Hanbal antara lain adalah : Imam al Bukhari,
Imam muslim, Ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy.
Imam Ahmad ibn Hanbal menurut Shubhiy
Mahmasaniy secara mapan mengajar ajaran keagamaannya adalah di Baghdad. Kalau
terbukti bahwa pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal ini tidak sebanyak imam-imam
mazhab yang lainya, kiranya dapat dimengerti, karena untuk masyarakat yang
sudah kompleks kehidupannya seperti di Baghdad bahkan di Irak pada umumnya,
tentu tidak semudah masyarakat yang masih sederhana seperti di Madinah atau di
Hijaz. Pada umunya untuk menerima hadits sebgai sumber hukum dalam menghadapi
kehidupan. Mazhab Hanbali termasuk paling sedikit jumlah pengikutnya. Sampai
dengan tahun 1968 tidak lebih dari 10 Juta orang saja.
F.
Peta
Penyebaran Mazhab Hanbali
Madzhab Imam Ahmad tersebar di berbagai
negeri islam, antara lain; Irak, Mesir, Semenanjung Arab, dan Syam. Selanjutnya
dengan kemunculan Imam Muhammad bin Abdul Wahab pendiri dakwah salafiyah yang
wafat pada tahun 1206 H, madzhab Imam Ahmad menjadi madzhab resmi kerajaan
Saudi Arabia sampai sekarang, sehingga beliau menjadi semakin kuat dan terus
berkembang. [10]
Tersiarnya mazhab Hanbali , tidak
seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini mulai tersebar di kota Baghdad
tempat kediaman Imam Ahmad ibn Hanbal, kemudian berkembang pula ke negri Syam.
Oleh karena para Sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal sebagian berada di Baghdad, maka
berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang disebarluaskan oleh
murid-murisnya. Mazhab ini tidak berkembang keluar negeri Irak, melainkan pada
abad ke empat Hijriyah. Kemudian berkembang
ke Mesir pada abad ke Tujuh
Hijriyah dan pada saat sekarang ,
pengikutnya makin sedikit.[11]
Diantara para ulama yang telah berjasa
mengembangkan mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal adalah: al-Atsram Abu Bakar Ahmad
ibn Hardi al-Khurasaniy, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaj al-Mawarniy, Ibn
Ishaq al-Harbiy, al-Qasim Umar ibn Abi Ali husein al-Khiraqy, Abd Aziz ibn
Ja’far dan sebagai penerus mereka yaitu Muwaffaqu al-Din, Ibn Qudamah dan
Syamsu al-Din ibn Qudamah al-Maqdisiy. Keduanya adalah tokoh yang
memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk
memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali , terutama dalam bidang muamalah.
Sekarang Mazhab Hanbali adalah mazhab
resmi dari pemerintah Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yang tersebar di
Jazirah Arab, Palestina, Syria, dan Irak.
BAB III
PENUTUP
Dari apa yang telah
dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal
merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami
al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi,
sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan
hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih
dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak
menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Fatwa-fatwa
Ahmad bin Hanbal didasarkan atas 5 hal :
Ø
Nash Al-Qur’an dan
Hadits Marfu’
Ø
Fatwa para sahabat
Ø
Bila ada perselisihan
diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits
Ø
Hadits Mursal dan hadits Dha’if
Ø
Qiyas
[1]
Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar
Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal 154
[2] Ibid, Hal. 156
[4]Ibid.
[5]
Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar
Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal 157
[6]
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta;
Amzah, 2009, Hal.195
[8]
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta;
Amzah, 2009, Hal.198
[11]
Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar
Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal. 164
0 komentar:
Posting Komentar