BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974.
Di Negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan hukum penggantinya itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam negar itu.
Perkembangan peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang berkenaan dengan kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian perkara.
Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan adat penduduk yang tambah berkembang dalam masyarakat.
Lain dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai sarana menambah pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta kedudukan serta kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul "Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat Majemuk".
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan kewenangan Peradilan Agama lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama?
2. Bagaimana Proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional dalam Masyarakat Majemuk?
BAB II
PEMBAHASAN
Sekitar 25 tahun pasca kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Perubahan tatanan peradilan nasional bertitik tolak pada ketentuan konstitusi disamping diperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara makro. Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu ialah pasal 12 undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan 24 dan 25 UUD 1945.
Pada tahun 1970 diundangkanlah UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999, dan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, maka Peradilan Agama diberikan tempat sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam NKRI dan tugas-tugas badan peradilan agama menjadi meningkat. Dari rata0rata 35.000 perkara sebelum diberlakukannya undang-undang perkawinan menjadi hamper 300.000-an perkara dalam satu tahun diseluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah dan kualitas aparatur pengadilan, khususnya hakim untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
Sehubung dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Acara Peradilan Agama serta Rancangan Undang-undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Tim diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama ini berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan maret 1984 dengan menyusun du RUU yaitu RUU Hukum Acara Perdata Peradilan Agama yang terdiri 204 pasal dan RUU tnetang Susuna Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama terdiri 58 pasal. Jadi kedua RUU tersebut berjumlah 262. Kedua RUU itu kini disatukan dan diringkaskan oleh tim lain menjadi RUU Peradilan Agama yang hanya memuat 180 pasal saja.
Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undang-undang Peradilan Agama, telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undanng-undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang Peradilan Agama. Peristiwa itu merupakan peristiwa penting, bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional tetapi juga bagi ummat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah dengan disahkannya kelak undang-undang Peradilan Agama itu oeh Presiden Republik Indonesia dan diundangkannya dalam lembaran Negara oleh Menteri –Sekretaris Negara, agar setiap orang mengetahuinya, semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan yang mandiri ditanah air kita dalam menegakan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disyahkanlah Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI No. 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400. Undang-undang tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7 bab. Ketujuh bab tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
Secara umum isi UU tersebut memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan Peradilan Agama, yaitu:
a. Perubahan tentang Dasar Hukum Penyelenggaraan Peradilan
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Stbld. Tahun 1882 No. 152 dan Stbld. Tahun 1937 No. 116 dan 610).
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qodhi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Stbld. Tahun 1937 No. 638 dan 639).
3. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'iyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara tahun 1957 No. 99).
4. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 No. 1, tambahan Lembaran Negara 3019).
b. Perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama di Indonesia dalam tata Peradilan Nasional.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 kedudukan Pengadilan dalm lingkup Peradilan Agama sejajar dengan Peradilan lainnya, khususnya Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan dicabut, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 107 ayat 1 butir d, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 No. 1, Tambahan Lembaran Negara No. 3019), dinyatakan berlaku. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri (executoire verklaring), yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru dalam sturktur organisasi Pengadilan Agama.
c. Perubahan tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama.
Di dalam pasal 11 ayat 1 UU No. 7 1989, hakim ialah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Ia merupakan unsure yang sangat pentingn bahkan menentukan. Pada pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.
d. Perubahan susunan dan kekuasaan Pengadilan Agama.
Menurut ketentuan pasal 6, 7, 8 UU No. 7 tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sebagai pengadilan tingkat banding.
Dalam pasal 49 ayat 1 Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan shadaqah. Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 2 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah 1. Izin beistri lebih dari satu, 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang dibawah umur yang telah ditentukan dalam undang-undang, 3. Dispensasi kawin, 4. Pencegahan perkawinan, 5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah, 6. Pembatalan perkawinan, 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri, 8. Perceraian karena talak, 9. Gugatan perceraian, 10. Penyelesaian harta bersama, 11. Mengenai penguasaan anak, 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, 13. Penentuan kewajiban member biaya penghidupan oleh suami kepada mantan istri atau penentuan suatu kewajiban terhadap mantan istri, 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, 15. Putusa tentang pencabutan kekuasaan orang tua, 16. Pencabutan kekuasaan seorang wali, 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut., 18. Menunjuk seorang wali untuk anak dalam hal seorang anak yang belum cukup umur sesuai undang-undang yang ditinggal kedua orang tuannya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya, 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya, 20. Penetapan asal usul seorang anak, 21. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Adapun kekuasaan dalam bidang kewarisan meliputi hal-hal berikut:
1. Penentuan yang menjadi ahli waris
2. Penentuan harta peninggalan (al-tirkah)
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
e. Perubahan tentang Hukum Acara
Di dalam ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku di pengadilan umum, kecuali yang telah ditur secara khusus dalam undang-undang ini .
f. Perubahan tentang penyelenggaraan administrasi peradilan.
Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu Pertama, administrasi umum yang berkenaan dengan administrasi perkara dan tekhnis yudisial dan Kedua, administrasi umum yang berkenaan dengan administrasi kepegawaian dan umum.
g. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang didaerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
B. Lahirnya Lahirnya INPRES No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam system hukum nasional. KHI berhubungan dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang mengalami perubahan penting berkenaan dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989. KHI juga berhubungan dengan kemajemukan hukum keluarga, antara lain hukum perkawinan yang mengenal differensiasi menurut agama sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 UU NO. tahun 1974. Secara singkat, KHI dirumuskan dan disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum subtansial bagi orang-orang yang beragama Islam.
Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun mahkamah agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Selama pembinaan tersebut, dirasakan adanya beberapa kelemahan, seperti hukum Islam yang diterpakan di lingkungan Peradailan Agama, yang cenderung simpang siur karena adanya perbedaan pendapat para ulama hamper dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum.
1. Landasan/Gagasan Dasar
Perumusan KHI didasarkan atas beberapa landasan, yaitu :
- Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh para penegak hukum maupun oleh masyarakat
- Persepsi harus seragam, persepsi yang tidak seragam tentang syari'ah akan dan sudah menyebabkan:
a. Ketidakseragaman dalam menentukan apa yang dinamakan hukum Islam itu
b. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari'at Islam
c. Akibatnya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dab alat-alat yang tersedia dalam undang-undang dasar 1945, dan perundang-undangan lainnya.
- Dalam sejarah Islam pernah dua kali pada tiga Negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan .
- Landasan Yuridis
UU No. 14/1970 pasal 20 ayat 1 yang berbunyi" hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Dan di dalam fiqh ada kaidah yang mengatakan bahwa: hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.
- KHI adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan mazhab baru tetapi dia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab persoalan fiqh. Ia mengarah pada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Dalam system hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kondifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional Indonesia.
2. Proses Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Penyusunan KHI dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk denga SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Di dalam SKB tersebut para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dengan jabatan masing-masing, jangka waktu, tata kerja dan biaya yang digunakan.
Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak saat ditetapkannya SKB. Dan tata kerja dan jadwal waktu pelaksanaan proyek telah ditetapkan sebagai lampiran dari SKB. Sedang biaya dibebankan kepada dana bantuan uang diperoleh dari pemerintah, Keppres No. 191/SOSRROKH/1985 (bantuan Presiden RI) dan No. 068/SOSRROKH/1985.
Pelaksanaan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi KHI dengan mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan para hakim. Hal tersebut dilakukan dengan metode penelitian dilakukan empat jalur, yaitu:
a. Pengumpulan Data
Yakni jalur penelitian kitab fiqh meliputi aspek, yaitu: hukum materil yang diteliti terdiri atas 160 masalah dalam bidang hukum keluarga, kitab fiqh yang diteliti adalah 38 buah, penelitian isi kitab fiqh dilakukan oleh 10 IAIN (6 kitab IAIN Arrabiri Banda Aceh, 6 kitab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 6 kitab IAIN Antasari Banjarmasin, 5 kitab IAIN Sunan Kali Jaga Jogjakarta, 5 kitab IAIN Sunan Ampel, 5 kitab IAIN Sultan Alaudin Ujung Pandang, 5 kitab IAIN Imam Bonjol Padang) dalam waktu tiga bulan, hasil penelitian kitab itu di olah lebih lanjut oleh Tim proyek pembagian Bidang Kitab dan Yurisprudensi.
b. Jalur Wawancara
Pembahasan masalah untuk bahan wawancara dimuat dalam sebuah buku guide questioner berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan wakaf). Wawancara dilakukan di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama yaitu: Banda Aceh; 20 orang ulama, Medan; 19 orang ulama, Padang; 20 oarang ulama, Palembang; 20 orang ulam, Bandung; 16 oarang ulama, Surakarta; 18 orang ulama, Surabaya; 18 oarang ulama, Banjarmasin; 12 orang ulama, Ujung Pandang; 19 orang, dan Makasar; 20 orang ulama.
c. Penelitian Yurisprudensi
Dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Pengadilan Agama, yang telah terhimpun dalam 16 buku (Himpunan putusan PA/PTA 4 buku, Himpunan Fatwa 3 buku, Yurisprudensi PA 3 buku, Law Report 4 buku) .
d. Jalur Studi Perbandingan
Dilaksanakan di Maroko, Turki dan Mesir. Informasi yang diperoleh tentang system peradilan, kedudukan hukum Islam, dalam sistem hukum nasional, dan penerapan hukum keluarga dikalangan orang-orang Islam.
Hasil penelitian yang diperoleh itu diolah oleh tim yang kemudian hasil rumusan yang dihasilkan tersebut diolah oleh tim kecil yang menghasilkan 3 buku rancangan Kompilasi Hukum Islam yaitu, Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakapan. Dalam perumusan naskah KHI sumber utama dari Nash al-Qur'an dan as-Sunnah, disamping itu isi KHI merujuk kepada peraturan perundang-undangn yang berlaku, yaitu: UU No. 22 tahun 1946 Jo. UU No. 32 tahun 1954, UU No. 1 tahun 1974 Jo. PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 7 tahun 1989.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, Rancangan Undang-undang Peradilan Agama, telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undanng-undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama yang disingkat Undang-undang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989 disyahkanlah Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI No. 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3400.
Undang-undang tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Isi Undang-undang No. 7 tahun 1989 terdiri atas 7 bab. Ketujuh bab tersebut yaitu Ketentuan Umumu, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Pengadilan Agama bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah, c. wakaf dan shadaqah.
Penyusunan KHI dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk denga SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Di dalam SKB tersebut para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dengan jabatan masing-masing, jangka waktu, tata kerja dan biaya yang digunakan. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak saat ditetapkannya SKB.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Muhammad, H. Prof. S.H., Hukum Islam dan Peradilan Agama. 2002. Cet.2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hasan Bisri, Cik, Drs., MS., Peradilan Agama di Indonesia. 2003. Cet.4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
______________________, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Majemuk. 1997. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Basiq Djalil, A, H, Drs., S.H., MA., Peradilan Agama di Indonesia. 2010. Cet.2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Arifin, Jaenal, Dr., MA., Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. 2008. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
0 komentar:
Posting Komentar