Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"

PENCATATAN NIKAH

A. Pendahuluan

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam. Namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan.
Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng. Tidak sedikit terjadi perceraian, yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama dan di samping itu juga mendapat akta nikah, maka untuk menyelesaikan kasus perceraian itu lebih mudah mengurusinya. Berbeda apabila tidak tercatat dan tidak ada akta nikah, maka pengadilan agama tidak mau mengurusinya karena perkawinan itu dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi.
Sekiranya hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah tangan. Sebagai resikonya apabila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada pengadilan agama.
Apabila kita melihat fikih semata, maka pernikahan sudah dipandang sah, sesudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Dampak di belakang hari sekiranya terjadi perselisihan yang menjurus kepada perceraian, kurang dipikirkan dan dipertimbangkan, sehingga terjadilah ketidakadilan , karena ada pihak yang dirugikan.
Sejak diundangkan UU No. 1 Tahun 1974, kekhawatiran yang disebabkan di atas sedikit banyaknya sudah dapat diatasi, karena sudah ada perangkat hukumnya, terutama bagi umat Islam. 

B. Landasan dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Pada mulanya syariat Islam, baik dalam al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan ayat muamalat (utang) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum Islam di Indonesia mengaturnya.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

C. Tata Cara Perkawinan

Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di bawah tangan.
Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutan-urutannya sebagai berikut:
1. Pemberitahuan
Dalam pasal 3 PP No. 9 tahun 1975 ditetapkan:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (4). Adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi : nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dana apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (5).
2. Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat setelah menerima pemberitahuan, diatur dalam pasal 6 sebagai berikut :
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula ;
a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
b) Keterangan mengenai nama, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
c) Izin tertulis pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
Penelitian Pegawai Pencatat juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri. Karena itu, jika diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat berikut :
a) Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
b) Dispensasi pengadilan / pejabat sebagai dimaksud pada pasal 7 ayat (2) undang-undang.
c) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
d) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mentri HANKAM / Pangab, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
e) Surat Kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakili kepada orang lain.
Hasil penelitian Pegawai Pencatat, kemudian ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu (ps. 9 PP 9 / 1975). Akan tetapi, apabila ternyata hasil penelitian menunjukkan adanya halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum terpenuhi persyaratan seperti diatur pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah, pegawai memberitahukan kepada calon mempelai atau kedua orang tua atau kepada wakilnya (ps. 7 (2). Langkah ini ditempuh agar pihak-pihak yang terkait, bagi calon mempelai dapat segera memenuhinya dan bagi pihak yang mungkin merasa keberatan dapat mengajukan keberatannya.
3. Pengumuman
Setelah dipenuhi persyaratan dan tata caranya serta tidak terdapat halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan. Caranya, dengan menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan, ditempel pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (ps. 8). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu.
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
4. Pelaksanaan
Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan.
Mengenai bagaimana cara pelaksanaan perkawinan, pasal 10 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 ternyata menegaskan kembali pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai pasal 10 No. 9 tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat.
Selain kedua mempelai, akta perkawinan ditandatangani pula oleh para saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang menghadirinya. Dalam pasal 11 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 juga ditentukan, bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta perkawinan ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili. Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan itu, maka perkawinan telah tercatat secara resmi

D. Perjanjian Dalam Perkawinan

Perjanjian perkawinan ada dua bentuk:
1. Taklik Talak
Teks lengkapnya adalah :
Sesudah akad nikah, saya………bin……….berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menempati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama…….binti…….dengan baik(mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat Taklik Talak atas istri saya itu seperti berikut:
1. Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadh (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.

………………………………………
(Tempat), Tanggal, Bulan dan Tahun
Suami
Tanda Tangan
2. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian yang dapat dibenarkan adalah perjanjian yang membawa manfaat kepada kedua belah pihak suami istri. Di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur dalam pasal 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52.





DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003.

Naruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam
Di Indonesia.. Jakarta: KENCANA, 2006.

Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: FOKUSMEDIA,
2007.

Hasan, M.Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta:
Prenada Media, 2003.

1 komentar:

Syahiran Sy Harahap mengatakan...

ini ada sedikit masalah, ada yang pasangan tahun 2007 nikah secara kristen, dan tahun 2015 muallaf. untuk buku nikah apakah harus dibuat baru atau tetap buku nikah yang secara kristen?

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More