Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal


Disusun Oleh:


Erwin Hikmatiar
Neneng Khoiroh Zuhriyah
Nurul Hikmah
Wardhatul Jannah

JURUSAN PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011




BAB I

PENDAHULUAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang imam mazhab keempat yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.



BAB I
PEMBAHASAN
A.   Imam Ahmad Ibn Hanbal
1.    Biografi Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkap Ahmad Ibn Hanbal ialah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal  Ibn Asad Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hasan al-Syaibani. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahandanya bernama Muhammad al-Syaibani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syarifah Maimunah binti abd al-Malik al-Syaibani.[1]
Imam Ahmad ibn Hanbal sejak kecil telah kelihatan sangat cinta kepada ilmu dan sangat rajin menuntutnya. Ia terus menerus dan tidak jemu menuntut ilmu pengetahuan sehingga tidak ada kesempatan untuk memikirkan mata pencariannya.[2]
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Imam yang keempat dari fuqaha’ Islam. Ia adalah orang yang mempunyai sifat-sifat luhur dan budi pekerti yang tinggi. Imam Ahmad juga adalah seorang yang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya. Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.

2.    Latar Belakang Pendidikannya
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik al-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.[3]
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad, saat itu kota Baghdad selain merupakan kota yang besar dan ramai, juga merupakan pusat ilmu pengetahuan dan merupakan pusat peradaban dunia Islam.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.”[4]
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 Hijriyah saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186 Hijriyah, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah

B.   Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Ahmad ibn Hanbal dalan Menetapkan Hukum Islam
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah seorang pemuka Ahlu-al Hadits yang telah disepakati oleh para ulama, namun sebagai seorang ahli fiqih masih diperselisihkan. Oleh karena itu, Imam ibn Jarir al-Thabary tidak memperhitungkan pendapat-pendapatnya dalam menghadapi khilaf dalam masalah fiqh dikalangan para fuqaha’. Menurutnya , Imam Hanbali termasuk ahlu al-hadits, bukan ahlu al-Fiqh. [5]
Imam hanbali pada dasarnya tidak menulis kitab fiqh secara khusus karena semua masalah fikih yang dikaitkan dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadanya. Sedangkan yang menyusunnya sehingga menjadi sebuah kitab fikih adalah para pengikutnya. FIqih Ahmad ibn Hanbal dapat dipastikan sangat diwarnai oleh hadits.
Adapun aliran keagamaan Islam Imam Ahmad ibn Hanbal menurut ulama kalam adalah termasuk aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Tetapi Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa imam Ahmad ibn Hanbal tidak termasuk aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, melainkan hnya orang yang pendapatnya sesuai dengan pendapat Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Al-Syahrastaniy memasukan Imam Ahmad dalam kelompok Ashab al-Hadits.  Atas dasar itu, maka jelas bahwa Imam Ahmad adalah termasuk dalam aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.
Sebagai ulama dari golongan Ashab al-Hadits, apalagi dikatakan Imam Ahmad itu termasuk Imam Ahlu al-Sunnah pada zamannya, sehingga sebagai Muhadditsin, tentulah ia akan sangat besar pengaruhnya terhadap pendapatnya.
Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana disebutkan di atas, lahir dan hidup di kota Baghdad. Kota Baghdad sebagai ibukota khilafah Islamiyah pada masa itu, jelas lebih ramai dan kebudayaannya lebih maju dari pada Hijaz pada umumnya, demikian pula masyarakatnya pun sudah sangat heterogen. Masalah hukum yang timbul di Baghdad , jelas lebih banyakdibandikan yang timbul di Madinah aytau Hijaz pada umumnya. Dalam keadaan seperti inilah Imam Ahmad ibn Hanbal mengembangkan ajaran agamanya. Tetapi karena ia terkenal sebagai Muhadditsin, bahkan sebagai Imam al-Sunnah pada masanya, kita akan dapat melihat perbedaan hasil ijtihad antara para imam Mazhab yang empat itu, khususnya antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Ahmad ibn Hanbal yang sama-sama hidup di kota Baghdad, namun yang satu termasuk Ahl-al-Ra’yi dan yang lainnya Ahl al-Hadits.  Karena Imam Ahmad termasuk Ahl al-Hadits, bukan Ahli Fikih menurut sebagian ulama , maka tampak jelas bahwa sunnah sangat mempengaruhinya dalam menetapkan hukum. Tetapi karena ia termasuk Imam al-Rihalah, ada pula pengaruhnya dalam menghadpi perubahan keadaan yang sudah jauh berbeda dari keadaan pada zaman Rasulullah SAW., yang diketahui dari hasits-hadits, terutama dalam bidang siyasah . karena itu dalam siyasah ini Imam Ahmad sering menggunakan  Mashlahah Mursalah dan Istihsan sebagai dasar hukum bila tidak ditemukan n ash atau qaul sahabat. Karena Imam Ahmad sebagai Ahl al-Hadits, maka ia sangat kuat berpegang kepada hadits, bahkan hal tersebut menjadikan ia terlalu takut untuk menyimpang dari ketentuan hadits, bahkan ketentuan atsar,  hal tersebut tampak jelas, ketika ia menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi di antara para Tabiín dimana ia tidak berani memilih salah satu di antara pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para Tabiín tersebur, apalagi pendapat para sahabat Nabi SAW.
Adapun metode  Istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
1.            Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Shahih
    Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah menemukan Nash, baik dari Al-Qur’an maupun dari al-Hadis al-Shahih, maka dalam menetapkan hukum islam beliau akan menggunakan Nash tersebut sekalipun ada faktor lain yang bisa dipakai bahan pertimbangan. Seperti dalam masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. Dan tidak memakai fatwa Abdullah bin Abbas sama dengan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa masa iddahnya adalah rentang waktu terpanjang dari dua ketentuan masa iddah dan tetap berpegang pada nash Al-Qur’an, yaitu empat bulan sepuluh hari.[6]
2.       Fatwa para Sahabat Nabi SAW
   Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qurán maupun dari hadits sahih , maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para Sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka.
3.    Fatwa para Sahabt Nabi yang timbul dalam perselisihan diantara mereka yang diambilnya yang lebih dekat kepada nash Al-Qurán dan sunah. Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati sesame mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang dipandang lebih dekat kepada Al-Qurán dan Sunnah.
4.    Al-Hadis al-Mursal dan al-Hadis a-Dhaif
Menggunakan hadis mursal dan hadis dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya didsahulukan daripada qiyas. Adapun hadis dhaif menurut versi Imam Ahmad bukan hadis batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tidak boleh diambil hadisnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadis dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka beliaupun bagian dari hadis yang Shahih.[7]
5.  Qiyas
Apabila Iman Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qurán dan Sunnah yang sahih serta fatwa-fatwa sahabt, maupun hadits dhaíf  dan mursal,  maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan al-Maslahih al-Mursalah  terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum Ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had  yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan Istihsan, Istishab, dan sad al-Dzaraí, sekalipun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Imam Ahmad ibn Hanbal mengkaji serta meneliti dengan cermat hadits-hadits yang ada kaitannya dengan halal dan haram. Begitu pula terhadap sanad-sanad hadits itu , tetapi beliau agak longgar sedikit dalam menerima hadits-hsdits yang berkaitan dengan ajran-ajaran akhlak dan keutamaan-keutamaan dalam amal ibadah dan adat istiadat yang terpuji, sebgaimana Imam Ahmad menyebutkan sebagai berikut: “Apabila kami terima dari Rasulullah hadits yang mennerangkan halal dan haram , juga menerangkan tentang Sunnah dan hukum-hukum , kami menelitinya dengan sangat hati-hati dan begitu juga sanad-sanadnya, tetapi apabila kami menerima hadits tentang masalah yang tidak berkaitan dengan hukum, kami longgarkan sedikit”.
C.   Penulisan Madzhab Imam Ahmad
         Imam Ahmad tidak menuliskan madzhabnya, bahkan beiau tidak suka ada yang menulis pendapat dan fatwanya. Kalaupun ada, hanya berupa catatan kecil khusus untuknya yang memuat beberapa masalah fiqh, dan tidak boleh dituls hanyalah Al-Qur’an dan sunnah agar beliau tetap menjadi referensi utama masyarakat untuk mempelajari hukum taklif.
         Adapun orang pertama yang menyebarkan madzhab Imam Ahmad adalah putranya yang bernama Shahih bin Ahmad bin Hanbal (wafat 266 H). Beliau menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirim surat kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan ayahnya, beliau pernah menjabat sebagai hakim, mencuplik pendapat ayahnya dan diterapkan langsung.
Putra Imam Ahmad yang bernama Abdullah bin Ahmad (wafat 290 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al-Musnad dab menyusunnya serta menukilkan fiqh ayahnya walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadis.
         Beberapa murid Imam Ahmad yang giat menulis madzhab dan menyebarkannya antara lain:
1.    Abu Bakar Al-Asyram (wafat 261 H), ia berguru pada Imam Ahmad sangat lama sekali.
2.     Abdul Malik Al-Maimuni (wafat 274 H), ia berguru kepada Imam Ahmad selama 20 tahun.
3.    Abu Bakar Al-Marwaruzi (wafat 275 H), termasuk mmurid yang paling istimewah bagi Imam Ahmad. Ia meriwayatkan banyak masalah dari Imam Ahmad.
Disamping mereka masih ada lagi para fuqaha’ yang menjadi murid Imam Ahmad. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan
.
            Disamping mereka , masih ada lagi para Fuqaha’  yang menjadi murid Imam Ahmad. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang Imam kemudian membuat penjelasan. Salah satu diantara mereka adalah Umar ibn Abi Ali Al Husain Al-Hazmi (wafat 234 H) yang menulis kitab Monumental, Mukhtasahar Al-Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh Ibnu Qudamah menjadi kitab Al-Mughni.
          Setelah mereka datanglah dua imam besar yang mengafiliasikan diri pada mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal, yaitu Ahmad Taqiyuddin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H). Keduanya dikenal sebgai orang yang memisahkan diri pada mazhab hanbali, baik dalam dasarnya dan kaidahnya. Akan tetapi, keduanya memiliki manhaj sendiri dalam istibat.[8]
D.   Musnad Imam Ahmad
         Musnad adalah kumpulan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ia mulai mengumpulkannya sejak pertama kali belajar hadis dan terus berlanjut akhir hayatnya. Imam Ahmad menulisnya tidak beraturan dan tidak tersusun rapi dan ketika usianya sudah senja dan takut ada yang hilang, lalu ia pun membacakannya pada anak-anaknya serta keluarganya secara tidak beraturan seperti pada mulanya, kemudian datanglah Abdullah ananknya yang enyusunnya semula sesuai dengan klasifikasinya. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Abdullah bin Ahmad yang mengumpulkan kitab Al-Musnad dan menyuusunnya dengan gaya yang agak asing dari kebiasaan para ahli hadis sebab semua kitab hadis shahih disusun berdasarkan susunan bab fiqh sehingga mudah dipahami. Sedangkan susunan kitab Al-Musnad disusun berdasarkan sahabat, hadis yang diriwayatkan oleh Abu bakar dan sunnah yang diriawyatkan darinya disusun dalam bab yang diberi nama musnad Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan demikianlah seterusnya. Tentu cara ini menyulitkan orang lain untukmencari temanya sesuai dengan kandungan hadis Nabi SAW, tetapi bisa jadi ada manfaat lain bagi yang ingin melihat pendapat fiqh seorang sahabat.
         Imam Ahmad telah mencurahkan pengorbanan yang sangat banyak dan manhaj yang betul dalam menulis kitab Al-Musnad. Beliau meriwayatkan dari yang tsiqah dizamanya dengan syarat hadisnya bersambung kepada Nabi SAW dan setiap yang tidak bersambung sanadnya maka dianggapnya hadis dhaif, walaupun perawihnya tsiqah. Dan dengan cara ini beliau berhasil mengumpulkan banyak hadis, memilihnya yang sudah dikumpulkannya, menghapus sebagian yang meragukan dan terus dilakukannya, bahkan sampai beliau sakit yang berujung dengan kematiannya. [9]

E.   Karya-karya Imam Ahmad ibn Hanbal
         Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik , ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan telah direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Diantara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :
1.    Kitab al-Musnad.
2.    Kitab Tafsir al-Qurán.
3.    Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
4.    Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qurán.
5.    Kitab Jawabu al-Qurán.
6.    Kitab at-Tarikh
7.    Kitab Manasiku al-Kabir.
8.    Kitab Manasiku al-Shaghir.
9.    Kitab Thaátu al Rasul.
10. Kitab al-Íllah.
11. Kitab al-Shalah.
          Ulama-ulama besar yang pernah mengambil ilmu dari Imam Ahmad ibn Hanbal antara lain adalah : Imam al Bukhari, Imam muslim, Ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy.
          Imam Ahmad ibn Hanbal menurut Shubhiy Mahmasaniy secara mapan mengajar ajaran keagamaannya adalah di Baghdad. Kalau terbukti bahwa pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal ini tidak sebanyak imam-imam mazhab yang lainya, kiranya dapat dimengerti, karena untuk masyarakat yang sudah kompleks kehidupannya seperti di Baghdad bahkan di Irak pada umumnya, tentu tidak semudah masyarakat yang masih sederhana seperti di Madinah atau di Hijaz. Pada umunya untuk menerima hadits sebgai sumber hukum dalam menghadapi kehidupan. Mazhab Hanbali termasuk paling sedikit jumlah pengikutnya. Sampai dengan tahun 1968 tidak lebih dari 10 Juta orang saja.
F.    Peta Penyebaran Mazhab Hanbali
         Madzhab Imam Ahmad tersebar di berbagai negeri islam, antara lain; Irak, Mesir, Semenanjung Arab, dan Syam. Selanjutnya dengan kemunculan Imam Muhammad bin Abdul Wahab pendiri dakwah salafiyah yang wafat pada tahun 1206 H, madzhab Imam Ahmad menjadi madzhab resmi kerajaan Saudi Arabia sampai sekarang, sehingga beliau menjadi semakin kuat dan terus berkembang. [10]
         Tersiarnya mazhab Hanbali , tidak seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini mulai tersebar di kota Baghdad tempat kediaman Imam Ahmad ibn Hanbal, kemudian berkembang pula ke negri Syam. Oleh karena para Sahabat Imam Ahmad ibn Hanbal sebagian berada di Baghdad, maka berkembanglah mazhabnya dengan pesat di negeri ini yang disebarluaskan oleh murid-murisnya. Mazhab ini tidak berkembang keluar negeri Irak, melainkan pada abad ke empat Hijriyah. Kemudian berkembang  ke Mesir  pada abad ke Tujuh Hijriyah  dan pada saat sekarang , pengikutnya makin sedikit.[11]
         Diantara para ulama yang telah berjasa mengembangkan mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal adalah: al-Atsram Abu Bakar Ahmad ibn Hardi al-Khurasaniy, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaj al-Mawarniy, Ibn Ishaq al-Harbiy, al-Qasim Umar ibn Abi Ali husein al-Khiraqy, Abd Aziz ibn Ja’far dan sebagai penerus mereka yaitu Muwaffaqu al-Din, Ibn Qudamah dan Syamsu al-Din ibn Qudamah al-Maqdisiy. Keduanya adalah tokoh yang memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali , terutama dalam bidang muamalah.
         Sekarang Mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari pemerintah Saudi Arabia dan mempunyai pengikut yang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, dan Irak.












                                             BAB III
                       PENUTUP
     Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Fatwa-fatwa Ahmad bin Hanbal didasarkan atas 5 hal :
Ø  Nash Al-Qur’an dan Hadits Marfu’
Ø  Fatwa para sahabat
Ø  Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits
Ø   Hadits Mursal dan hadits Dha’if
Ø  Qiyas




[1] Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal 154
[2] Ibid, Hal. 156
[4]Ibid.
[5] Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal 157
[6] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta; Amzah, 2009, Hal.195
[8] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta; Amzah, 2009, Hal.198
[11] Huzaimah, T.Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat : GAUNG PERSADA, 2011, Hal. 164

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More