Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengucapkan "SELAMAT & SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA MOPA (MASA ORIENTASI KBPA) GINTUNG 21-22 MARET 2015"

oleh : Erwin Hikmatiar
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkawinan perceraian merupakan pemutus tali perkawinan antara suami dan isteri. Perceraian merupakan salah satu akibat dari tidak harmonisnya hubungan antara suami dan isteri dalam rangka menjalankan hak dan kewajibanya di dalam sebuah keluarga. Ini adalah salah satu langkah yang diambil oleh pasangan suami dan isteri dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya yang sudah tidak dapat lagi di selesaikan atau didamaikan. Perceraian merupakan sebuah keputusan yang menyakitkan bagi pasangan suami dan isteri. Dan juga perceraian merupakan sebuah hal Halal yang dibeni oleh Allah. Sebagaimana Hadits dari Ibnu Umar : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan yang paling dibenci Allah adalah thalaq, diriwayatkan oleh Abu Daawud. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh hakim.”[1]
            Dilihat dari Undang Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama dan kompilasi hukum islam dikenal dengan istilah cerai talak dan cerai gugat. Perceraian yang dimaksud dalam penulisan ini adalah perceraian karena talak dan perceraian karena gugatan isteri. Dalam pasal 39 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan “untuk melakukan sebuah perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan isteri tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri”.





BAB II
DEFINISI DAN BENTUK PERCERAIAN
A.    Putusnya perkawinan karena perceraian menurut fiqh
Perceraian adalah penderitaan yang tidak akan berhenti pada batasan kalimat yang diucapkan suami ketika marah atau dalam situasi gila. Kalimat perceraian adalah kalimat yang akan mengguncangkan langit sebelum mengguncangkan eksistensi keluarga, dimana suami, istri, dan anak-anak semuanya akan merasakan guncangan tersebut dan mereka akan menenggak pil kepahitan dan terhalang dari meraih impian yang didambakan yaitu kehidupan keluarga yang penuh kehangatan.[2]
 Cerai yang dalam bahasa ‘Arab di sebut “Ath-tholaaq” itu mengandung arti memutuskan atau meninggalkan. Menurut istilah, cerai adalah melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Di dalam Islam, pada prinsipnya perceraian itu di larang, kecuali, kalau ada alasan-alasan obyektif yang menuntut adanya sebuah perceraian antara suami isteri. Dari Ibn ‘Umar r.a., ia telah menyampaikan, Rasuulullah SAW telah bersabda : “Perbuatan halal yang paling di benci oleh Allah (Ta’alaa) adalah perceraian”. (Hadits Riwayat Abu Daud).[3]
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap istriya, atau karena perceraian yang antara keduanya.[4] Perceraian memang boleh dalam islam sebagai solusi terakhir dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam perkawinan. Namun hal itu sifatnya hanyalah sebagai pintu darurat atau emergency exit yang sifatnya alternatif terakhir dan seharusnya jarang dilalui serta dilewati oleh pasangan yang mengarungi kehidupan rumah tangga perceraian itu dibenci oleh Allah SWT Karena perbuatan tersebut dapat digolongkan  termasuk kedalam sikap kufur nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Sebab didalam pernikahan terdapat beberapa kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT ciptakan melalui hukum dan kemanusiaan. Sedangkan sikap kufur nikmat didalam islam itu sangat dilarang. Oleh sebab itu perceraian tidak boleh dilakukan selain dalam keadan darurat.[5]
Prinsip pada pernikahan hendaknya berdasarkan pada kecintaan, kasih sayang dan baiknya berhubungan. Masing masing dari suami istri memberikan hak-haknya. Terkadang dalam sebuah rumah tangga, seorang suami memaksakan kehendaknya pada sang istri begitupun sebaliknya, tak jarang istri yang memaksakan kehendaknya pada sang suami. Menyikapi hal ini islam telah mengatur bahwasanya hendaknya kita menghindari dan mengobati beberapa hal yang menjadikan kebencian kita terhadap sesama.[6] Allah SWT berfirman :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S An-Nisa: 4)
B.     Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang
Perceraian menurut Bahasa Indonesia berasal dari kata “cerai” yang berarti perpisahan, perihal bercerai (antara suami dan istri), perpecahan perbuatan menceraikan.[7] Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.[8]
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwasanya putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian..[9] dalam undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sehingga apabila belum ada upaya perdamaian yang dilakukan oleh pengadilan dapat dipahami bahwasanya perceraian tersebut tidaklah shahih.[10] Hal ini senada dengan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
C.    Bentuk dan Alasan-Alasan perceraian
Putusnya  perkawinan dapat berarti berakhirnya hubungan suami istri.
Putusnya perkawinan dapat dikelompokan kedalam beberapa bentuk tergantung siapa yang memutuskanya. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan :
1.      Putusnya perkawinan karena kehendak Allah melalui matinya salah satu dari suami atau istri.[11] Dalam hal ini kematian merupakan factor mutlak penyebab perceraian. Apabila salah seorang darri suami atau istri mati maka status perkawinanya menjadi putus secara langsung.
2.      Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini disebut thalaq.[12] Thalaq merupakan hak mutlak milik suami, sehingga perkataan yang diucapkan kepada istri dapat menjatuhkan talak secara langsung.
3.      Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapanya untuk memutuskan perkawinan tersebut. Putus perkawinan semacam ini disebut khulu.[13]
4.      Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setekah melihat adanya sesuatu pada suami dana atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan tersebeut dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.[14]
Apabila dilihat dari segi mashlahat dan mudharatnya, maka hukum perceraian dapat dibedakan menjadi :
1.         Wajib
Apabila dianggap bahwasanya pernikahan mereka akan menjadi sebuah neraka bila dilanjutkan sehingga tersiksa batin bagi salah satu atau kedua belah pihak.
2.         Makruh
Talak yang diakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhann. Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terbagi menjadi 2 pendapat :
a.       Bahwa talak tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan mudharat. Jadi menurut golongan yang pertama ini, lebih baik menghindari hal yang dapat menimbulkan mudharat dalam perkawinan sehingga tujuan dari perkawinan terwujud yakni menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
b.      Talak dibolehkan, hal ini berdasar pada hadist tentang talak yaitu sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah.[15]
3.         Mubah
Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya karena perangai istri yang tidak baik atau istri nusyuz.[16]
4.         Sunnah
Talak yang dilakukan pada saat istri sedang mengabaikan hak-hak Allah yang dibebankan kepadanya. Contohnya : solat, puasa, dan kewajiban lainya.[17]
5.         Mazhur (terlarang)
Hal ini dapat dibebankan kepada suami yang menceraikan istriny yang dalam keadaan haid. Para ulama mesir telah sepakat bahwa hal semacam ini hukumnya haram. Talak ini disebut jiga talak bid’ah, disebut demikian karena menceraikan itu menyalahi sunnah rasul dan mengabaikanperintah Allah dan Rasulnya.. hal ini senada dengan firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ßŠrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ  
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Q.S At-Thalaq : 1)

Dari segi kebolehan kembali lagi kepada pasangan  Perceraian dapat dibagi kedalam 2 macam :
1.       Cerai Ruju’.
Perceraian itu ada dua macam, yaitu, cerai raj’i (cerai yang masih memberi peluang untuk bersatu kembali dengan cara yang amat mudah. Dan, cerai bain, yaitu, perceraian yang tidak bisa di persatukan lagi lewat ruju’ (kembali). Cerai raj’i adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami pada isterinya yang telah di gauli selayaknya suami isteri, dan, belum pernah ada cerai sebelumnya atau baru satu kali cerai. Seorang suami yang mencerai raj’i isterinya, berhak, untuk bersatu kembali lewat proses ruju’ selama masa ‘iddah. Kalau mereka hendak bersatu kembali. Namun, masa ‘iddahnya telah berlalu. Maka, keduanya harus melakukan pernikahan yang sempurna. Ruju’ adalah haq seorang suami. Oleh sebab itu, untuk pelaksanaan ruju’, suami tidak dituntut minta izin kepada wali. Namun, minta persetujuan isteri dan bahkan tidak perlu saksi. Tapi, bila ragu akan timbul fitnah di hari kemudian, saksi perlu dihadirkan.[18] Hal ini senada dengan firman Allah :
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ßŠrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Baqarah : 229)

2.      Cerai Bain
Cerai bain adalah cerai yang tidak memberikan ruju’ (kembali) bagi bekas suami pada bekas isterinya. Cerai bain ini dapat terjadi dengan cerai tiga (ketiga kali), cerai wanita sebelum di gauli sama sekali, dan, cerai atas gugatan isteri (khulu’). Dalam cerai bain ini, peluang untuk bersatu kembali bagi pasangan suami isteri yang sudah cerai, terbuka, setelah wanitanya menikah dengan laki-laki lain (muhallil) secara baik dan sempurna, dan, tidak sekadar pen-sela-an saja. Allaah SWT berfirman, yag artinya : “Kemudian, bila, suami menceraikan isterinya (sesudah cerai yang kedua), maka, perempuannya itu tidak halal lagi baginya (suami), sampai, dia (perempuannya) nikah dengan pasangan (laki-laki) lain”. (Al-Baqarah : 230).[19]
            Bila hubungan perkawinan putus, maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut : [20]
a.       Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisahdan tidak boleh memandang, apalagi bergaul sebagai suami misteri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
b.      Keharusan memberikan mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikanya sebagai satu kompensasi. (Jumhur berpendapat bahwa mut’ah itu hanya untuk perceraian yang inisiatifnya berasal dari suami, seperti thalaq, kecuali bila jumlah mahar telah ditentukan dan bercerai sebelum bergaul)
c.       Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar ataupun nafaqah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukan bila pada waktu Noya dia tidak dapat membayarnya
d.      Berlaku atas istri yang diceraikan ketentuan idah
e.       Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah

BAB II
HADANAH
1.      Hadanah menurut perspektif Fikih
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan Hadanah. Secara etimologis, Hadanah ini dapat diartikan “disamping” atau berada “dibawah ketiak”. Sedangkan secara terminologi Hadanah dapat diartikan merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasanya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluanya sendiri.[21]
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Hadanah merupakan hak anak ataupun hak orang tua. Menurut mazhab Maliki Hadanah merupakan hak orang tua (ibu) sehingga dalam hal ini ibu berhak untuk menggugurkan hak tersebut. Namun beda halnya dengan Jumhur ulama yang menyatakan bahwasanya Hadanah merupakan  hak bersama antara orang tua dan anak. Hadanah yang dimaksud dalam makalah ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.[22]
Pemeliharaan anak mengandung nilai tanggung jawab yang tinggi bagi orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.hal ini berlanjut terus hingga nanti anak tersebut telah dewasa dan telah mampu berdiri sendiri.[23] Adapun mengenai pendidikanya juga merupakan kewajiban dari orang tuanya untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik serta layak bagi anak, hal ini berbanding lurus dengan tujuan akhir Hadanah yaitu mempersiapkan anak agar nantinya bisa berdiri sendiri dan hidup mandiri di tengah masyarakat.
Adapun mengenai siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak, telah dijelaskan dalam hadist :
Dari al-Bara bin Azib: Ali, Ja’far , Zaid telah mengadu kepada Nabi tentang pengasuhan anak Hamzah. Ali berkata: Saya lebih berhak mengasuhnya karena ia anak pamanku. Ja’far berkata: Anak pr paman ku dan bibinya berada di bawahku. Zaid berkata: Dia anak saudaraku”. Lalu Nabi menetapkan bahwa hak asuh kepada bibinya (sdr perempuan ibu), lalu bersabda:”Bibi itu sama kedudukannya dengan ibu.” (muttafaqalaih).
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa hak asuh bibi sama kuatnya dengan ibu. Ijma ulama telah menetapkan ibu adalah yang paling berhak atas hak asuh. Oleh karena itu bibi lebih kuat hak asuhnya dibanding nenek, ayah, atau kerabat lain. Sedangkan mazhab Syafii mengatakan bahwa ayah lebih berhak dibanding bibi. Sedangkan al-Syafii mendahukukan nenek dibanding ayah. Tapi menurut al-Syaukani: Bibi lebih berhak jika dibanding ayah.


2.      Hadanah menurut perspektif UU no 1 tahun 1974
Undang – undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP nomor 9 tahun 1975 secara luas dan rinci, para hakim masih menggunakan kitab kitab fikih.[24] Barulah kemudian setelah diberlakukanya UU no.7 tahun 1999 tentang penyebarluasan KHI, masalah Hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan Agama diberikan wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikanya.
Bila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya UUP telah mengatur mengenai Hadanah atau aturan pemeliharaan anak namun dengan konsep yang umum. Hal ini dapat kita lihat di pasal 41 UUP yang menyatakan :
1.      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya , semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan membeerikan putusanya.
2.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.
Berkaitan dengan kewajiban orang tua terhadap anaknya , kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya dan adapun kewajiban ini berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.[25] Karena bagaimanapun juga anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaanya dan orang tua mewakili segala perbuataan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.[26] Dalam Pasal 49 UUP menyatakan :
1.      Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatasa dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : ia sangat melalaikan kewajibanya terhadap anaknya dan ia berkelakuan buruk sekali.
2.      Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal-pasal yang telah dikutip dan didefinisikan diatas jelas menyatakan kepentingan anak adalah segalanya, karena mereka hanyalah korban dari perceraian yang terjadi. Hal ini patut di apresiasi karena UUP sebenarnya telah berpihak dan memikirkan bagaimana pengasuhan anak untuk ke depanya apabila terjadi perceraian, namun patut disayangkan juga karena pengasuhan anak yang dicantumkan dalam UUP hanyalah sebatas pemeliharaan bersifat material dan kurang memberikan penekanan terhadap aspek non material padahal hal tersebut kedudukanya juga esensial bagi perkembangan diri dan kejiwaan anak.
3.    Hadanah menurut perspektif KHI
Dalam pasal-pasalnya KHI telah tegas menyatakan pemeliharaan anak yang dimuat dalam Bab XIV (pasal 98 - 106). Pada pasal 98 dijelaskan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang Anak tersebut tidak mempunyai cacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kemudian pada ayat dua berbunyi “orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pegadilan.[27] Di dalam Kompilasi Hukum Islam, ada pasal-pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak. Disebutkan bahwa “dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya kemudian pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih Siantar ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.”[28] Berkaitan dengan harta anak KHI juga menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.”[29]
Pasal-pasal KHI secara jelas menegaskan bahwasanya kewajiban pengasuhan material dan nun material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.[30] KHI membagi tugas-tugas yang harus dilakukan orang tua atas anaknya. Anak yang belum mumayyiz akan diasuh ibunya dan mengenai pembiayaan merupakan tanggung jawab ayahnya. Sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz maka ia bisa memilih antara ayah dan ibunya yang akan bertindak sebagai pemeliharanya.
BAB III
NAFKAH IDDAH
1.    Nafkah iddah dalam perspektif fikih
Sebelum membahas mengenai nafkah Iddah, kiranya perlu kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan iddah. Iddah berarti masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Dan idah ini bisa dengan cara menungggu kelahiran anak yang dikandung atau melalui quru’ atau menurut hitungan bulan.[31] Pada saat tersebut sang misteri tidak boleh menikah atau menwarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. Idah ini sudah dikenal sejak masa Jahiliyyah dulu. Setelah datangnya Islam, idah ini tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syariat karena banyak mengandung manfaat.
Nafkah idah merupakan nafkah yang dikeluarkan oleh suami kepada istri selama masa iddah misteri yang telah diceraikanya masih ada. Wanita yang diceraikan adakalanya sedang hamil dan adakalanya tidak. Oleh karena itu, maka idah yang berlaku adalah sebagai berikut[32] :
a.       Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya. Hal ini senada dengan firman Allah SWT “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandunganya.[33]
b.      Iddah wanita yang sedang menjalani Istihadah. Apabila wanita yang diceraikan memiliki hari hari saat ia mempunnyai hari saat biasa menjalani masa haid dan masa sucinya. Batas masa idah ini adalah 3 kali suci atau ada juga kalangan yang berpendapat 3 kali masa haid.
c.       Iddah misteri yang sedang menjalani masa Haid, namun terhenti karena sebab baik yang diketahui maupun tidak maka ia harus menunggu kembalinya masa Haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai masa Haidnya meskipun memakan waktu yang lebih lama.
d.      Iddah wanita yang tidak dicampuri oleh suaminya, hal ini telah dijelaskan dalam Firman Allah SWT : “wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian telah menikahi wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka menjalani masa Iddahnya bagi kalian yang minta untuk menyempurnakanya. Maka berilah mereka Mut’ah dan lepaskan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.”[34]
Hak wanita dalam masa Iddah dapat dideskripsikan dengan beberapa macam. Pertama, wanita yang dalam masa Iddah berhak menerima tempat tinggal, pakaian, dan segala keperluan hidupnya dari suami yang menalaknya. Hal ini dikecualikan bagi suami yang durhaka atau nusyuz, ia tidak berhak untuk menerima apapun.[35] Kedua, wanita yang dalam masa idah berhak untuk mendapatkan nafkah dan ketiga, wanitayang dalam masa idah berhak untuk memutuskan rujuk kembali.

2.        Nafkah iddah dalam perspektif hukum Indonesia
            Nafkah idah merupakan hak istri pada masa idah dan kewajiban suami untuk melaksanakanya..berbicara mengenai jumlahnya adalah relatif tergantung kemampuan suami. Dalam hukum Indonesia suami dapat tidak melaksanakan nafkah idah dikarenakan si istri melalaikan kewajibanya. Hal ini senada dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (4 sampai 7) :
(4). Sesuai dengan  bunpenghasilan suami menanggung :
                                    a. Nafkah kiswah, biaya perawatan, pengobatan bagi istri dan anak
                                    b. Biaya Rumah Tangga, Biaya Perawatan Didi, biaya pengobatan istri                                  dan anak
                                    c. biaya pendidikan bagi anak
(5). Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a             dan b diatas mulai berlaku sesudah adanya Tamin sempurna dan istrinya
(6). Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban dari kewajibanya terhadap dirinya
(7). Kewajiban suami yang dimaksud gugur apabila istri nusyuz
            Dari bunyi pasal tersebut tampak jelas bahwasanya suami dapat tidak melaksanakan kewajibanya apabila :
1.      Istri benar-benar telah mengikhlaskanya
2.      Apabila istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa idah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses maupun tidak.









BAB IV
MUT’AH
            Secara Etimologis berarti satu pemberian, satu kenikmatan, penambah, atau penguat, yang melengkapi, memenangkanya dan menyenangkan. Secara etimologis fiqih, mut’ah berarti pemberian suami kepada istri yang dithalaqnya setelah thalaq dilakukan.[36] Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian mut’ah tertuang dalam pasal 1 j Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang dan lainnya.
            Dalam perspektif fiqh, ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai mut’ah thalaq :[37]
1.      Menurut Abu Hanifah mut’ah wajib atas orang yang menceraikan istrinya sebelum ia disetubuhi atau belum ditentukan maharnya. Hal ini berdasarkan Q.S Al-Ahzah : 49. Sedangkan bagi istri yang dicerai sebelum dicampuri namun sudah ditentukan maharnya maka suami memberikan separuh dari mahar yang telah ditentukan
2.      Menurut Qaul jadi Imam Syafii dan Ahmad Hambali, mut’ah wajib diberikan kepada istri yang dicerai,, kecuali istri yang sudah disetubuhi namun sudah ditentukan maharnya.
3.      Menurut Malikiyyah, Mut’ah sunah bagi setiap istri yang dicerai oleh semua keadaan. Pemberian mut’ah dianggap sebagai sebuah perbuatan yang bertujuan mendatangkan kebaikan dan keutamaan.
Adapun ukuran Mut’ah :
1.      Menurut Malikiyyah, Hanabillah, dan sebagian ulama Syafiiyyah, mut’ah disesuaikan dengan keadaan suami berdasarkan Q.S Al-Baqarah ayat 263
2.      Menurut Hanafi dan sebagian ulama Syafiiyah, Mut’ah disesuaikan dengan keadaan istri dengan alasan bahwa kata kata ma’ruf dalam Q.S Al-Baqarah ayat 236 adalah yang pantas dan layak bagi istri.
3.      Menurut Sebagian ulama Hanafiah, ukuran mur;ah haruslah dipertimbangkan sesuai dengan kondisi dan keadaan kedua belah pihak.
Jumlah Mut’ah[38] :
1.      Menurut Hanafi dan Syafii, Jumlah Mut’ah diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan hakim karena syariat islam tidak menentukan jumlahnya secara pasti
2.      Menurut sebagian ulama Hanabilah, Jumlah tertinggi dalam mut’ah bagi yang kaya adalah kira-kira seharga jasa pembantu atau bagi yang miskin jumlah terendahnya adalah sepotong pakaian
Hak nafkah dan mut’ah bagi istri yang ditalak yang dikemukakan oleh para ulama diatas akan efektif dan berlaku serta dapat dilaksanakan bila si istri tidak diklaim nusyuz.










DAFTAR PUSTAKA
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007)
R.Subekti S.H, KItab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Praditya Paramita, 2006)
Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007)
Al-Kahlani, Imam Muhammad bin Ismail, Subul Al-Salam, (Bandung, Dahlan, 1985)
Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka al-kautsar, 2006)
Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta; Graha Ilmu, 2011)



[1] Al-Kahlani, Imam Muhammad bin Ismail, Subul Al-Salam, (Bandung, Dahlan, 1985) h 168
[2] Terjemahan kitab Butsainah as-sayid al-Iraqi, asror fil hayati al-mullaqot, (Jakarta : Pustaka al-sofwa, 2005) h 210
[3] http://attabayyun.com/berita/853-fiqh-hukum-dan-hikmah-perceraian.html oleh : Al-Ustadz Muhammad Luthfi Zulfikar, S. Pdi.
[4] Drs.Sohari Sahrani, Fikih Munakahat “kajian fikih nikah lengkap”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) h 229
[5] http://attabayyun.com/berita/853-fiqh-hukum-dan-hikmah-perceraian.html oleh : Al-Ustadz Muhammad Luthfi Zulfikar, S. Pdi.
[6] Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga “pedoman keluarga dalam islam” (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010)
[7] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h 200
[8] Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007) h 189
[9] Lihat KHI pasal 114
[10] R.Subekti S.H, KItab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Praditya Paramita, 2006)
[11] Amir Syarifudin, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007) h 197
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Skripsi Yaser Maulana, Aliran sesat sebagai penyebab perceraian, (Jakarta : Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h 18
[16] Ibid
[17] Ibid
[19] Ibid
[20] Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta; Graha Ilmu, 2011) h 30
[21] Dr.H.Amiur Nuruddin, MA, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006) h 293 dikutip dari Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), h 415
[22] Dr.H.Amiur Nuruddin, MA, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006) h 293
[23] Ibid, h 294
[24] Ibid, h 298
[25] Lihat Undang-undang Perkawinan Bab X pasal 45
[26] Lihat Undang-undang Perkawinan Bab X pasal 47
[27] Lihat KHI pasal 98
[28] Lihat KHI pasal 105
[29] Lihat KHI pasal 106
[30] Dr.H.Amiur Nuruddin, MA, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006) h 302
[31]Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka al-kautsar, 2006) h 353
[32] Ibid, h 356
[33] Lihat Q.S At-Thalaq ayat 4
[34] Lihat Al-Quranul Karim surat Al-Ahzab Ayat 49
[35] Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka al-kautsar, 2006) h 358
[36] Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta; Graha Ilmu, 2011) h 76
[37] Ibid
[38] Ibid

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More